Pengaruh sosial (social
infineace) adalah usaha yang dilakukan seseorang atau lebih untuk mengubah
sikap, belief, perespsi atau tingkah laku orang lain. Ada 3 aspek penting dalam
pengaruh sosial, yaitu konformintas (conformity), kesepakatan (compliance),
kepatuhan (obedience), dan indoktrinasi insentif (intense indoctrination).
Konformitas
(conformity) adalah suatu jenis pengaruh sosial di mana
individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial
yang ada. Seseorang bertingkah laku dengan cara-cara yang dipandang wajar atau
dapat diterima oleh kelompok atau masyarakat kita. Tekanan untuk melakukan
konformitas berakar dari adanya pernyataan bahwa di berbagai konteks ada
aturan-aturan eksplisit maupun implisit yang mengindikasikan bagaimana
seharusnya atau sebaliknya kita bertingkah laku yang disebut norma social (social norms), dan
aturan-aturan ini seringkali menimbulkan efek yang kuat pada kita. Norma bisa
saja dinyatakan secara eksplisit (tertulis),
contohnya larangan parkir di jalan tol, larangan merokok di tempat umum,
perintah untuk tidak menginjak rumput di taman. Selain itu ada pula norma yang
diucapkan atau implisit, contohnya
ketika Susi pergi kuliah dengan memaki tanktop, ada ketidaknyamanan dalam
dirinya dengan perilakunya tersebut atau mungkin ketidaknyamanan datang dari
orang lain yang melihat cara berpakaian Susi tersebut, walaupun dalam
peraturan-peraturan kuliahnya tidak ada peraturan yang mengharuskan memakai
baju berlengan, namun norma-norma implisit bekerja sehingga timbul
ketidaknyamanan baik pada diri Susi maupun orang lain yang berada disekitarnya.
Contoh lainnya dari norma implisit peraturan tidak tertulis seperti, “jangan
berdiri terlalu dekat dengan orang asing”, “perempuan jangan duduk ngangkang”,
“jangan lupa memberi tip pada pelayan”. Tanpa mempedulikan apakah norma sosial
itu implisit atau eksplisit, ada satu kenyataan yang jelas sebagian besar orang
mematuhi norma-norma tersebut hampir setiap saat.
Selain itu norma juga dibagi
menjadi norma deskriptif dan norma injungtif. Norma deskriptif berupa saran atau himbauan untuk melakukan
sesuatu norma yang mengindikasikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada
situasi tertentu, contoh norma dskriptif himbauan kepala desa kepada warganya
untuk melakukan 3M demi mencegah demam berdarah atau ketika di jalan tol ada
himbauan bagi kendaraan yang berjalan lambat untuk berjalan di bahu kiri dan
bagi kendaraan yang ingin mendahului dan melaju cepat untuk berjalan di lajur
kanan semua melaju cepat, fakta dilapangan banyak kendaraan yang melaju lambat-lambat
di jalur kanan, tapi tidak dikenai sanksi. Norma
injungtif adalah berupa perintah atau larangan yang mengharuskan orang
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu norma yang menentukan apa yang
harus dilakukan-tingkah laku apa yang diterima dan tidak diterima pada situasi
tertentu. Contoh perintah membayar pajak untuk para wajib pajak, bagi yang
tidak mematuhi akan dikenakan sanksi.
Terkadang kita tidak menyetujui
konformitas ini karena konformitas membatasi kebebasan pribadi. Namun ada dasar
yang kuat berkenaan dengan konformitas tanpa konformitas, kita segera menyadari
kita berhadapan dengan kekacauan sosial. Jadi, pada berbagai situasi,
konformitas memiliki fungsi yang sangat berguna.
Konformitas ada 2 jenis yaitu a)
konformitas publik (public
conformity) yaitu bila di depan umum seseorang menampilkan perilaku
yang sama tapi belum tentu orang tersebut nyaman dengan perilakunya tersebut
atau dengan kata lain, melakukan atau mengatakan apa yang orang lain di sekitar
kita katakan atau lakukan. Contoh Rudi mentaati peraturan untuk tidak merokok
di tempat umum, namun karena Rudi adalah perokok berat, dia tidak nyaman dengan
perilakunya itu sehingga sedapat mungkin dia mencari tempat tersembunyi untuk
merokok. Contoh lainnya adalah saat pemilu, banyak orang yang ikut arak-arakan
kampanya partai X karena banyaknya massa yang juga ikut kampanye partai X
tersebut, padahal belum tentu orang-orang tersebut berada di pihak partai X
melainkan hanya ikut-ikutan; b) penerimaan
peribadi (Private acceptance) yaitu
bila seseorang menampilkan perilaku sesuai dengan penerimaan pribadinya sendiri
yang membuatnya nyaman dengan perilaku tersebut dan benar-benar merasakan atau
berpikir seperti orang lain. Contoh, Susi tidak merokok di tempat umum karena
memang kesadaran dirinya sendiri untuk tidak merokok, dan dia nyaman dengan
perilakunya tersebut. Contoh lainnya adalah saat kampanye partai X, banyak
massa yang ikut mendukung. Tapi saat pemilu, ternyata mereka memilih pilihan
yang berbeda sehingga partai X kalah. Di sini, mereka mengikuti private
acceptance mereka untuk memilih partai yang memang mereka dukung. Jadi, jangan
mudah terkecoh dengan konformitas yang ditunjukkan di depan publik karena belum
tentu konformitas tersebut sesuai dengan penerimaan pribadi orang tersebut.
Konformitas tidak terjadi pada
derajat yang sama di semua situasi. Ada 3 faktor yang mempengaruhi konformitas,
yaitu :
1.
Kohesivitas (cohesiveness)—derajat
ketertarikan yang dirasa oleh individu terhadap suatu kelompok. Ketika
kohesivitas tinggi (ketika kita suka/kagum terhadap suatu kelompok), tekanan
untuk melakukan konformitas bertambah besar, dan juga sebaliknya. Contoh: dalam
1 genk yang terdiri dari sahabat-sahabat yang sangat akrab yang koompak, ketika
yang satu melakukan rebonding rambut, yang lainnya juga mengikuti.
2.
Ukuran kelompok, semakin
besar kelompok tersebut, semakin besar pula kecenderungan kita untuk ikut
serta, bahkan meskipun itu berarti kita akan menerapkan tingkah laku yang
berbeda dari yang sebenarnya kita inginkan.
3.
Teori focus normative (normative
focus theory), yaitu teori yang mengajukan bahwa
norma akan mempengaruhi tingkah laku hanya bila norma tersebut menjadi focus
dari orang yang terlibat pada saat tingkah laku tersebut muncul. Dengan kata
lain, orang akan mematuhi norma injungtif hanya jika mereka memikirkan tentang
norma tersebut dan melihatnya terkait dengan tindakan mereka. Norma
mempengaruhi tingkah laku hanya jika norma-norma tersebut penting bagi
kita—ketika kita terfokus pada norma tersebut. Contoh: saya adalah mahasiswa di
Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Norma-norma yang berhubungan dengan ekologi
menjadi focus saya dibanding norma lainnya. Contohnya, saya menjadi lebih
terfokus pada norma membuang sampah pada tempatnya.
Mengapa seseorang
melakukan konformitas? Berikut adalah penyebab seseorang melakukan konformitas:
1.
Keinginan untuk disukai dan rasa
takut pada penolakan. Salah satu alasan penting mengapa kita melakukan
konformitas adalah: kita belajar bahwa dengan melakukannya bisa membantu kita
mendapatkan persetujuan dan penerimaan yang kita dambakan. Sumber konformitas
ini dikenal dengan pengaruh social normative (normative social
influence), karena pengaruh social ini meliputi perubahan tingkah
laku kita untuk memenuhi harapan orang lain. Untuk disukai dan diterima
dalam suatu kelompok, kita cenderung melakukan konformitas agar sesuai dengan
kelompok tersebut. Selain itu, apapun yang dapat meningkatkan rasa takut kita
akan memperoleh penolakan oleh kelompok tersebut juga akan meningkatkan
konformitas.
2.
Keinginan untuk merasa benar: pengaruh
social informasional. Kita menggunakan opini dan tindakan mereka
sebagai panduan opini dan tindakan kita. Tindakan dan opini orang lain
menegaskan kenyataan social bagi kita, dan kita menggunakan semuanya itu
sebagai pedoman bagi tindakan dan opini kita sendiri. Dasar ini disebut pengaruh
social informasional (informational social influence), karena
hal tersebut didasarkan pada kecenderungan kita untuk bergantung pada orang
lain sebagai sumber informasi tentang berbagai aspek dunia social. Contoh: kita
mengikuti trend rambut rebonding untuk keinginan merasa bahwa model rambut ini
lah yang benar, yang memang sedang tren saat ini.
3.
Membenarkan konformitas: konsekuensi
kognitif dari mengikuti kelompok. Beberapa orang yang melakukan
konformitas melakukannya dengan sepenuh hati, mereka menganggap bahwa mereka
salah dan orang lain benar dan dengan melakukan konformitas hanya akan
menimbulkan dilemma sementara. Namun banyak juga yang beranggapan penilaian
mereka benar naming mereka tidak mau menjadi berbeda sehingga mereka
berperilaku tidak konsisten dengan belief pribadi mereka.
Sehingga untuk mengubah persepsi mereka pada situasi tersebut, mereka
membenarkan konformitas.
Terkadang
kita memilik untuk tidak ikut serta atau menolak konformitas. Beberapa factor
penting yang membuat seseorang menolak konformitas:
1.
Keinginan individuasi, yaitu
kebutuhan untuk mempertahankan individualitas kita. Kita ingin menjadi seperti
orang lain—tetapi tampaknya, tidak sampai pada titik di mana kita kehilangan
identitas pribadi kita. Sebagian besar dari kita memiliki keinginan akan individuasi
(individuation)—agar dapat dibedakan dari orang lain dalam beberapa
hal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konformitas memang lebih banyak
terjadi di Negara yang memiliki budaya kolektivis. Contoh: saat sedang tren
rebonding, Susi justru mengikalkan rambutnya karena ia ingin beda dari yang
lain.
2.
Keinginan mempertahankan control
terhadap kejadian-kejadian dalam hidupnya. Semakin
kuat kebutuhan individu akan control pribadi, semakin sedikit kecenderungan
mereka untuk menuruti tekanan social.
3.
Orang-orang yang tidak dapat
melakukan konformitas. Ada beberapa orang yang
memang tidak dapat melakukan konformitas karena alasan fisik, hokum atau
psikologis. Cotoh: orang yang homoseksual tidak bisa melakukan konformitas
untuk mencintai orang lawan jenisnya; orang-orang cacat fisik yang tidak dapat
melakukan aktifitas seperti orang kebanyakan.
Terkadang minoritas tidak
selalu menjadi yang terpengaruh oleh mayoritas, tetapi bisa juga terjadi hal
yang sebaliknya yaitu minoritas berhasil mempengaruhi mayoritas pada kondisi
tertentu: i) angggota kelompok minoritas harus konsistendan harus
bertahan pada opininya sendiri dalam menentang opini mayoritas; ii)
anggota kelompok minoritas harus menghindari tampilan yang kaku dan dogmatis
(harus fleksibel); iii) keseluruhan konteks social di mana kaum minoritas
beroperasi adalah penting. Jika minoritas bertahan, pada akhirnya mereka bisa
saja menang dan menemukan bahwa pandangan mereka kini menjadi mayoritas.
Berdasarkan penelitian Prislin, Limbert, dan Bauer (2000) Mayoritas yang
dikalahkan mengalami reaksi negatif yang kuat, sementara minoritas yang baru
saja menjadi kuat menunjukkan reaksi positif yang lebih lemah (mereka dalam
posisi yang rentan). Jika mereka tidak mengambil tindakan untuk
memperkuat kemenangan mereka, mungkin saja pada kenyataannya kemenangan itu
akan berumur pendek.
Aspek perubahan social
lainnyaa adalah kesepakatan (compliance)—suatu bentuk
pengaruh social yang meliputi permintaan langsung dari seseorang kepada orang
lain—yaitu usaha-uasah untuk membuat orang lain berkata ya terhadap berbagai
macam permintaan. Ada 6 prinsip dasar compliance (Cialdini,
1994):
1. Pertemanan/rasa suka:
kita lebih bersedia untuk memenuhi permintaan dari teman atau orang-orang yang
kita sukai daripada permintaan dari orang asing atau orang yang tidak kita
sukai. Contoh: sahabat kita sangat suka music country, bisa jadi nantinya kita
juga menyukai music country.
2. Komitmen/konsistensi:
sekali kita berkomitmen pada suatu tindakan, kita akan lebih bersedia untuk
memenuhi permintaan mengenai tingkah laku yang konsisten dengan tindakan
tersebut daripada permintaan yang tidak konsisten dengan tindakan tersebut.
3. Kelangkaan: kita
lebih mungkin untuk memenuhi permintaan yang berpusat pada kelangkaan daripada
terhadap permintaan yang sama sekali tidak terkait dengan isu tersebut. Contoh:
ketika bensin langka, orang lebih cenderung menjadi tertarik membeli bensin.
4. Timbal balik/resiprositas: kita lebih bersedia untuk memenuhi permintaan dari
orang yang sebelumnya telah memberikan bantuan atau kemudahan bagi kita.
Contoh: Susi melakukan sesuatu untuk Rudi karena Rudi pernah membantu Susi
sebelumnya,
5. Validasi social: kita
lebih bersedia memenuhi permintaan untuk melakukan beberapa tindakan jika
tindakan tersebut konsisten dengan apa yang kita percaya dilakukan oleh orang
lain yang mirip dengan kita.
6. Kekuasaan: kita
lebih bersedia memenuhi permintaan dari seseorang yang memiliki kekuasaan yang
sah.
Sementara
itu dalam prinsip komitmen ada 2 teknik yang bisa digunakan, yaitu: i) foot-in-the-door
technique yaitu suatu prosedur untuk memperoleh kesepakatan di
mana pemohon memulai dengan permintaan yang kecil dan kemudian permintaan ini
disetujui, meningkat ke permintaan lain yang lebih besa (yang memang mereka
inginkan sejak awal). Contoh: saat datang ke mall, Susi ditawari sample gratis
sebuah kue dan Susi menyetujuinya dan mengambil sample tersebut, lalu kemudian
Susi ditawari untuk membeli. Kemungkinan Susi untuk menyetujui membeli besar
karena sebelumnya dia sudah berkomitmen mencoba sample; ii) Low ball
technique yaitu suatu prosedur untuk memperoleh kesepakatan di
mana suatu penawaran atau persetujuan diubah (menjadi lebih tidak menarik)
setelah orang yang menjadi target menerimanya. Contoh: Rudi ditawari membeli
mobil, dank arena terbujuk akan DP yang murah dan stok yang lengkap tersedia,
Rudi pun menyetujui penawaran tersebut. Namun ternyata warna mobil yang
diinginkan Rudi tidak ada. Namun karena sudah menyetujui, Rudi pun tetap
memilih membeli mobil tersebut.
Pada prinsip kelangkaan
terdapat 2 teknik, yaitu: i) jual mahal/ playing hard to get yaitu
suatu teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesepakatan dengan memberikan
kesan bahwa seseorang atau suatu objek adalah langka dan sulit diperoleh.
Contoh: teknik penjualan dengan mengatakan bahwa produk itu adalah limited
edition; ii)Deadline technique yaitu suatu teknik untuk
meningkatkan kesepakatan di mana orang yang menjadi target diberi tahu bahwa
mereka memiliki waktu yang terbatas untuk mengambil keuntungan dari beberapa
tawaran atau untuk memperoleh suatu barang. Contoh: “laptop ini diskon 10%
hingga akhir minggu ini!” atau penawaran Ahung Sedayu Group yang mengatakan “DP
murah, diskon x%, hari naik besok!”.
Pada prinsip timbal balik
ada 2 teknik, yaitu: i) door-in-the-face yaitu suatu
teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesepakatan di mana pemohon
memulai dengan permintaan yang besar dan kemudian, ketika permintaan ini
ditolak, mundur ke permintaan yang lebih kecil (yang memang mereka inginkan
sejak awal); ii) that’s-not-all yaitu suatu teknik
untuk memperoleh kesepakatan di mana pemohon menawarkan keuntungan tambahan
kepada orang-orang yang menjadi target, sebelum mereka memutuskan apakah mereka
hendak menuruti atau menolak permintaan spesifik yang diajukan. Contoh: beli 2
dapat 1.
Selain teknik-teknik
tersebut di atas, ada pula yang dikenal dengan Pique Technique yaitu
suatu teknik untuk memperoleh kesepakatan di mana minat orang yang menjadi
target di-pique (distimulasi) oleh permintaan yang tidak umum.
Sebagai akibatnya, mereka menolak permintaan secara otomatis, seperti yang
sering terjadi. Contoh: memasang harga Rp 9.900,00 terhadap produk yang berharga
RP 10.00,00 supaya terkesan lebih murah. Selain itu taktik lainnya dengan
menempatkan oranglain pada suasana hati yang baik sebelum mengajukan
permintaan.
Apek lain dari pengaruh
social adalah kepatuhan (obedience)—keadaan di mana
seseorang pada posisi yang berkuasa cukup mengatakan atau memerintahkan orang
lain untuk melakukan sesuatu—dan mereka melakukannya! Kepatuhan lebih jarang
terjadi dari conformitas ataupun kesepakatan, karena bahkan orang-orang yang
memiliki kekuasaan dan dapat menggunakannya seringkali lebih memilih
menggunakan pengaruhnya melalui “velvet glove”—melalui permintaan dan
bukannya perintah langsung.
Kepatuhan yang merusak
berarti tindakan yang berdasarkan kepatuhan itu membahayakan orang lain atau
dirinya sendiri. Penyebab kepatuhan yang merusak yaitu:
1.
Orang-orang yang berkuasa membebaskan orang-orang yang
patuh dari tanggung jawab atas tindakan mereka. “saya hanya menjalankan
perintah”, seringkali dijadikan alasan bila sesuatu yang buruk terjadi.
2.
Adanya perintah bertahap dari figure otoritas.
Perintah awal mungkin saja meminta tindakan yang ringan baru selanjutnya
perintah untuk melakukan tindakan yang berbahaya.
3.
Situasi yang melibatkan kepatuhan bisa berubah cepat. Cepatnya perubahan
ini menyebabkan kecenderungan meningkatnya kepatuhan.
Berikut ini cara-cara
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kepatuhan yang merusak:
1.
Individu yang dihadapkan pada perintah dari figure
otoritas dapat diingatkan bahwa merekalah yang akan bertanggung jawab atas
kerusakan apapun yang dihasilkan—bukan pihak otoritas.
2.
Individu dapat disadarkan bahwa melebihi suatu titik
tertentu, maka benar-benar mematuhi perintah yang merusak adalah tidak layak.
3.
Individu dapat lebih mudah untuk melawan figure
otoritas jika mereka mempertanyakan keahlian dan motif dari figure-figur
tersebut.
4.
Cukup dengan mengetahui kekuatan yang dimiliki figure otoritas untuk dapat
memerintahkan kepatuhan buta bisa membantu melawan pengaruh itu sendiri.
Indoktrinasi
intensif (intensive indoctrination)—suatu
proses yang dilalui individu untuk menjadi anggota kelompok ekstrem dan
menerima belief serta aturan dari kelompok tanpa
bertanya-tanya dengan disertai komitmen yang tinggi (Baron, 2000)—merupakan
suatu bentuk pengaruh social yang dipaksakan. Tahapan dalam indoktrinasi intensif
ini terdiri dari 4 tahap, yaitu:
1.
Tahap melunak (softening-up), anggota
baru diisolasi dari teman-teman dan keluarga, dan dilakukan usaha-usaha untuk
membuat mereka bingung, lelah, tidak memiliki orientasi, dan terangsang secara
emosional. Tujuan utamanya adalah untuk memisahkan anggota baru dari kehidupan
lamanya dan menempatkan mereka pada keadaan di mana mereka mau menerima
pesan-pesan kelompok.
2.
Tahap kesepakatan (compliance), anggota baru diminta
untuk mengiyakan permintaan dan belief kelompok serta secara
aktif “mencoba” peran sebagai anggota.
3.
Tahap internalisasi (internalization), anggota baru mulai
menerima bahwa pandangan-pandangan kelompok adalah benar dan mereka
sungguh-sungguh mempercayai pandangan tersebut.
4.
Tahap konsolidasi (consolidation), anggota baru
memperkuat keanggotaan mereka dengan melakukan tindakan yang mahal, yang
membuat mereka sulit, atau bahkan tidak mungkin untuk mundur: mereka
mendermakan seluruh harta milik pribadi mereka kepada kelompok, memutus ikatan
dengan semua mantan teman dan keluarga, mulai secara aktif merekrut anggota
baru, dst.
Hasil akhirnya dari
indoktrinasi intensif adalah anggota baru tersebut kini menerima belief dan
dasar pemikiran kelompok dengan tidak bertanya-tanya, dan juga memiliki
pandangan negatif terhadap “orang luar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar