Aksi agresif adalah sebuah perilaku terarah yang
ditujukan untuk memberikan kesakitan fisik maupun psikologis (Aronson, 2006).
Berarti sebuah perilaku agresif tidak hanya kesakitan fisik melulu (berupa
tamparan, tinjuan, pukulan, dll) tapi juga dapat berupa pemberian kesakitan
psikologis yaitu melalui cacian, hinaan, intimidasi, dll. Agresi adalah aksi
yang ditujukan untuk menyakiti orang lain (Peplau, 2004). Jadi bila sang korban
memang dengan sengaja meminta untuk disiksa, maka tidak disebut dengan agresi.
Contohnya adalah pada sebuah bentuk kelainan hubungan seksual di mana seseorang
baru merasa puas melakukan hubungan seks bila dia ditampar atau dijambak.
Sementara menurut Baron & Byrne, 2005, agresi adalah tingkah laku yang
diarahkan untuk menyakiti makhluk hidup yang mengindari diperlakukan demikian.
Ada
beberapa teori berkenaan dengan asal mula agresi ini:
1.
Sigmund
Freud menyatakan bahwa manusia pada umumnya memiliki 2 insting yaitu insting
untuk mati dan insting untuk hidup. Agresi terutama timbul dari keinginan untuk
mati yang kuat yang dimiliki oleh semua orang. Insting ini awalnya memiliki
tujuan self-destruction tetapi segera arahnya dirubah keluar, kepada orang lain.
Itulah sebabnya mengapa manusia memiliki keinginan untuk menyakiti orang lain.
2.
Para sosiobiologist juga berpendapat
bahwa agresi adalah sebuah kecenderungan yang diwariskan karena dapat membantu
untuk mempertahankan hidup dan reproduksi. Agresi muncul terutama dari insting
berkelahi (fighting instinct) bawaan yang dimiliki oleh manusia
dan spesies lainnya. Insting ini berkembang selama terjadinya evolusi karena
hal tersebut menolong untuk memastikan bahwa hanya individu terkuat dan
terhebatlah yang akan menurunkan gen mereka pada generasi berikutnya.
3.
Level testoteron dan serotonin
diasosiasikan dengan agresi. Faktor biologis dan genetis memainkan peran
tertentu dalam agresi manusia. Contohnya: remaja pria lebih cenderung terlibat
dalam agresi terhadap pria lain daripada terhadap wanita lain, sedangkan pada
wanita perbedaan itu tidak terjadi.
Selain
factor-faktor di atas, factor social lah yang memiliki pengaruh lebih besar
dalam agresi. Factor social ini bisa dari social learning ataupun observational learning. Contoh:
saat masih kecil seringkali antara kakak-adik rebutan mainan dan orang tua
sering mengatakan pada si kakak, “Kasih aja ke adiknya, adiknya kan masih kecil”.
Secara tidak langsung hal tersebut menumbuhkan agresivitas pada diri si kakak.
Contoh lainnya: orang tua yang menghukum anaknya dengan makian dan bentakan
atau pukulan sehingga sang anak akan terbiasa pula melakukan hal itu pada
temannya.
Determinan
social dari agresi ada 6, yaitu:
1.
Frustasi, Ada 2 pernyataan penting
pada hipotesis
frustasi-agresi (frustassion-aggression hypothesis):i)
frustasi selalu memunculkan bentuk tertentu dari agresi; ii) agresi selalu
muncul dari frustasi. Frustasi mebgakibatkan terangsangnya suatu dorongan untuk
menyakiti obyek atau orang lain yang dipersepsikan sebagai obyek frustasi.
Penyebab frustasi antara lain: hambatan dalam mencapai tujuan (contoh: para
preman yang ingin mendapatkan uang dengan memalak dan tidak diberikan, lalu
melakukan kekerasan); konflik keluarga (contoh: KDRT yang sering terjadi
belakangan ini); masalah pekerjaan dan uang; suhu yang tinggi (dalam cuaca
panas, tingkat agresivitas cenderung tinggi); orang yang agresif secara kronis
mempunyai atribusi yang kuat untuk mempersepsikan orang lain berperilaku
menentang mereka dengan tujuan kekerasan khususnya dalam situasi ambigu
(contoh: orang yang agresif kronis akan menganggap apa yang orang lain lakukan
padanya adalah menantang. Bila ada orang yang melihatnya agak lama, ia akan
marah dan bilang “Apa kamu liat-liat!”)
2.
Provokasi langsung. Sering kali
agresi adalah hasil provokasi (provocation)—tindakan
oleh orang lain yang cenderung memicu agresi pada diri si penerima, sering kali
tindakan tersebut dipersepsikan berasal dari maksud jahat—fisik atau verbal
dari orang lain. Ketika kita sedang menerima suatu bentuk agresi orang lain,
kita jarang mengalah. Sebaliknya, kita cenderung untuk membalas, memberikan
agresi sebanyak yang kita telah terima.
3.
Agresi
yang dipindahkan (displaced
aggression)—agresi terhadap seseorang yang bukan sumber dari provokasi yang
kuat; agresi dipindahkan terjadi karena orang yang melakukannya tidak ingin
atau tidak dapat melakukan agresi terhadap sumber provokasi awal. Contoh: Susi
telah dimarahi dosennya dan itu membuat Susi kesal. Namun ia tidak dapat
melampiaskan kekesalannya pada sang dosen karena status dosen yang lebih tinggi
sehingga Susi melampiaskan pada temannya dengan memarah-marahi temannya tanpa
alasan yang jelas.Agresi dipindahkan yang dipicu (triggered displaced aggression) adalah suatu peristiwa pemicu ringan
yang ditimbulkan oleh seseorang mengakibatkan orang tersebut menjadi target
dari agresi yang dipindahkan yang kuat—agresi kuat yang datang sebagai kejutan
pada orang tersebut (Marchus-Newhall dkk., 2000). Contoh: susi sedang mengalami
hari yang buruk di mana ada satu atau lebih orang telah mengganggunya, Susi
mungkin akan meledak dan melakukan agresi yang kuat.
4.
Pemaparan terhadap kekerasan di media—gambaran aksi
kekerasan di media massa (dijelaskan lebih lanjut di bawah).
5.
Keterangsangan yang meningkat.
Keterangsangan yang meningkat apapun sumbernya dapat meningkatkan agresi,
sebagai respons terhadap provokasi, frustasi dan factor-faktor lain. Bahkan,
keterangsangan yang berasal dari sumber yang bervariasi seperti olah raga keras
atau jenis music tertentu dapat meningkatkan agresi. Teori transfer eksitasi (excitation transfer
theory) adalah
suatu teori yang menyatakan bahwa keterangsangan yang dihasilkan dalam satu
situasi dapat tersisa dan memperkuat reaksi emosional yang timbul dalam situasi
berikutnya.
6.
Keterangsangan
seksual. Hubungan antara
keterangsangan seksual dan agresi bersifat curvilinear.
Keterangsangan seksual ringan mengurangi agresi hingga tingkat yang lebih
rendah daripada yang ditunjukkan oleh tidak adanya keterangsangan, sedangkan
keterangsangan seksual yang lebih tinggi malah meningkatkan agresi di atas
tingkat keadaan keterangsangan.
Di
samping dari determinan social sebagai penyebab agresi di atas, penyebab agresi
bisa datang dari diri pribadi, ada 4 faktor penyebab pribadi dari agresi:
1.
Pola perilaku tipe A. pola perilaku tipe A (type A behavior pattern)—sebuah pola yang terutama meliputi tingkat kompetitif, urgensi
waktu dan hostility yang tinggi—sementara pola perilaku
tipe B (type B behavior pattern) adalah sebuah pola tidak
memiliki karakteristik-karakteristik yang berhubungan dengan pola perilaku tipe
B. Tipe A cenderung lebih agresif dari pada Tipe B. Tipe A adalah perilaku yang
benar-benar hostile: mereka
tidak melakukan agresi pada orang lain hanya karena hal itu merupakan alat yang
bermanfaat untuk mencapai tujuan. Tapi mereka lebih cenderung daripada tipe B
untuk terlibat dalam agresi hostile yaitu
agresi yang tujuan utamanya adalah untuk melakukan suatu kekerasan pada korban
(Strube dkk., 1984). Tipe A lebih cenderung untuk tidak terlibat dalam agresi instrumental—agresi yang
dilakukan terutama untuk mendapatkan tujuan lain di daripada Tipe B, tujuan seperti
mengontrol sumber-sumber daya yang berharga.
2.
Bias
atribusional hostile yaitu kecenderungan untuk mempersepsikan maksud atau motif hostile dalam
orang lain ketika tindakan ini dirasa ambigu. Contoh: ketika Susi ditabrak oleh
Rudi, lalu Rudi meminta maaf namun karena Susi merasa Rudi menabraknya sebagai hostile, maka
Susi akan tetap marah pada Rudi.
3.
Narsisme adalah self-love yang
berlebihan—memiliki pandangan yang berlebihan terhadap kebaikan dan
keberhasilan diri sendiri. Orang dengan narsisme yang tinggo bereaksi dengan
tingkat agresi yang sangat tinggi terhadap penghinaan dari orang lain—umpan
balik yang mengancam self-image mereka.
4.
Perbedaan
gender. Pria
secara signifikan lebih cenderung daripada wanita untuk melakukan agresi
terhadap orang lain ketika orang lain tersebut tidak memprovokasi mereka dalam
cara apapun (Betancourt & Miller, 1996). Pria lebih cenderung daripada
wanita untuk terlibat dalam berbagai bentuk agresi langsung—tindakan yang
ditujukan secara langsung pada target dan yang secara jelas datang dari agresor
(kekerasan fisik, meninju, menampar). Sementara wanita lebih cenderung daripada
pria untuk terlibat dalam berbagai bentuk agresi tidak langsung—tindakan yang
memungkinkan aggressor untuk menutupi identitasnya dari korban sehingga membuat
koraban sulit mengetahui bahwa mereka menjadi target dari tindakan kekerasan
yang disengaja (menyebarkan rumor, bergosip di belakang target, member tahu
orang lain untuk tidak berhubungan dengan target. Pria dan wanita sangat
berbeda dalam satu jenis lain agresi—pemaksaan seksual.
Disamping
determinan social dan penyebab pribadi dari agresi ada pula determinan
situasional yaitu suhu udara yang tinggi dan konsumsi alkohol. Keduanya dapat
menyebabkan meningkatnya agresi. Perspektif belajar pada agresi secara umum ada
dua:
·
Proses belajar di masa lalu.
Hal ini terjadi bila kita pernah melakukan agresi secara tidak sengaja di masa
lalu atau menjadi korban agresi dan hal tersebut dijadikan pembelajaran bagi
kita saat peristiwa serupa terjadi. Contoh: Susi pernah hamper kecopetan tapi
karena ia segera menggigit tangan si copet maka si copet langsung lari tanpa
mengambil dompetnya. Hal ini menjadi pembelajaran bagi Susi bila ia kecopetan
suatu hari nanti, ia akan menyakiti si pencopet.
·
Imitasi dan reinforcement terutama berasal dari orang tua. Contoh: ayah dan ibu yang sering bertengkar di rumah dengan
meneriakkan omongan-omongan kasar, dan terdengar oleh anaknya. Anak tersebut
mempelajari penggunaan kata-kata kasar tersebut ketika ia bertengkar dengan
temannya. Contoh lainnya: orang tua sering memberikan reinforcement atas
kelakuan agresif anaknya, “Ayo nak, kalo kamu dipukul kamu bales pukul lagi. Ga
usah takut! Pukul aja yang kenceng!”
Penyebab agresi bisa disebabkan oleh 2 hal,
yaitu: i) adanya skema
agresi (kerangka mental yang
membantu kita mengorganisasikan hal-hal yang berhubungan dengan agresi) yang
bisa terbentuk dari proses belajar di masa lalu maupun imitasi dan
reinforcement yang berasal dari orang tua; ii) aksesibilitas pada pikiran tentang agresi yang bisa disebabkan
dari kekerasan di media—gambaran aksi kekerasan di media massa. Makin
banyak film atau program televise dengan kandungan kekerasan yang ditonton saat
kanak-kanak, makin tinggi tingkat agresi mereka saat dewasa. Dampak lainnya
dari menonton kekerasan di media dikenal sebagai efek desentisiasi—setelah menonton adegan kekerasan, individu
menjadi bebal pada kesakitan dan penderitaan orang lain. Dampak ketiga dari
menonton adengan kekerasan: dapat menghidupkan pikiran hostile “utama”, sehingga pikiran tersebut menjadi lebih mudah
diakses oleh pikiran yang sadan dan kemudian dapat meningkatkan kecenderungan
seseorang untuk terlibat dalam agresi terbuka (Anderson, 1997). Karena
pemaparan terhadap kekerasan di media secara berulang-ulang dapat menguatkan
dampak utama tersebut seiring dengan waktu, pengaruuh dari menonton tersebut
bisa terakumulasi.
Norma social tertentu memiliki pengaruh yang
krusial dalam menentukan kebiasaan agresi yang dipelajari. Instrumental aggression muncul ketika seseorang
menggunakan agresi untuk memperoleh tujuan secara praktis dengan menyakiti
orang lain meskipun dia tidak dalam keadaan marah. Contoh: para preman selalu
meminta uang dengan marah atau memukuli korbannya. Padahal bisa saja tanpa
perlu melakukan hal tersebut sang korban rela memberikan uangnya. Lalu ada yang
dikenal dengan kondisi deindividuasi yaitu kondisi ketika
dalam kerumunan banyak orang dan tiap orang tidak bisa dikenali satu persatu
maka agresi dapat terjadi. Ketika seseorang termotivasi untuk menyakiti orang
lain, maka bisa terjadi dehumanisasi yaitu kehilangan rasa
kemanusiaan. Maka tidak jarang sekarang ini banyak kasus pembunuhan dengan
memutilasi korbannya.
Agresi dalam hubungan jangka panjang ada dua
jenis yaitu intimidasi dan kekerasan di tempat kerja. Intimidasi (bullying) adalah suatu pola perilaku di mana satu individu
dipilih sebagai target dari agresi berulang oleh satu atau lebih orang; orang
yang menjadi target korban umumnya memiliki kekuatan yang lebih lemah
dibandingkan mereka yang terlibat dalam agresi perilaku. Pelaku menyerang orang
lain secara berulang karena orang tersebut dipersepsikan berpotensi untuk
menjadi berbahaya dan mereka berharap dapat menghambat lawan-lawan seperti ini
dari awal. Anak-anak yang menjadi pelaku/korban intimidasi lebih rendah self-esteem nya, lebih rendah dalam hal belief bahwa mereka dapat mengontrol hasil akhir mereka sendiri, dan
lebih tinggi dalam hal Machiavellianism—suatu kecenderungan
untuk melakukan pendekatan yang kasar dan manipulative dalam berhubungan dengan
orang lain. Untuk mengurangi intimidasi, anak-anak dapat dilatih untuk
mengintervensi daripada hanya berdiam diri saat intimidasi terjadi. Guru-guru
juga dapat memainkan peran yang sangat menolong dalam mengurangi intimidasi.
Sementara itu agresi di tempat kerja (workplace aggression) adalah perilaku dalam bentuk apapun yang
dimaksudkan individu untuk menyakiti orang lain di tempat kerja mereka.
Sebagian besar bersifat tertutup (covert) yang berarti cenderung
bersifat samar dan memungkinkan aggressor untuk menyakiti orang lain sementara
secara bersamaan mencegah orang-orang itu mengidentifikasi mereka sebagai
sumber kekerasan. Kebanyakan agresi di tempat kerja jatuh pada 3 kategori
utama: i)ekspresi hostility (bersifat verbal atau simboli: bergosip, meremehkan
pendapat orang); ii) sabotase (menghambat atau menyabotase kinerja kerjanya;
iii) agresi terbuka (kekerasan fisik, pencurian hak milik, ancaman kekerasan
fisik, dll).
Pencegahan agresi ada berbagai cara sebagai
berikut:
1.
Hukuman
(punishment)—pemberian konsekuensi yang
menyakitkan untuk mengurangi perilaku tertentu. Hukuman hanya akan efektif bila
memenuhi syarat berikkut: harus segera; harus pasti; harus kuat; harus
dipersepsikan oleh penerimanya sebagai justifikasi atau layak
diterima. Hukuman tidak begitu efektif dalam mengurangi agresi karena jarang
sekali syarat-syarat di atas terpenuhi.
2.
Hipotesis
katarsis (catharsis hypothesis) yaitu pandangan
bahwa menyediakan suatu kesempatan pada orang yang sedang marah untuk
mengekspresikan impuls-impuls agresif mereka dakam cara yang relative aman akan
mengurangi tendensi mereka untuk terlibat dalam bentuk agresi yang lebih
berbahaya. Contoh: berteriak-teriak dalam ruangan kosong, melampiaskan
kekesalan pada sasaran tinju. Sayangnya efek katarsis hanya sementara. Factor-faktor
kognitif seringkali membuat dampak katarsis berumur pendek. Katarsis bukan
suatu alat yang sangat efektif untuk mengurangi agresi..
3.
Intervensi kognitif: permintaan maaf—pengakuan
kesalahan-kesalahan yang meliputi permintaan ampun/maaf—dan mengatasi deficit kognitif salah satunya dengan preattribution—mengatribusikan tindakan mengganggu
yang dilakukan orang lain pada penyebab yang tidak disengaja sebelum provokasi
benar-benar terjadi (contoh: Rudi menganggap Susi baru saja melakukan hal yang
menyebalkan namun Rudi mengingatkan dirinya sendiri bahwa Susi mungkin tidak
bermaksud membuat dirinya marah. Teknik lainnya adalah mencegah diri sendiri
(atau orang lain) terhanyut pada kesalahan sebelumnya baik yang nyata atau yang
diimajinasikan. Misalnya: dengan membaca, bermain puzzle, sehingga
pikiran-pikiran kita teralihkan.
4.
Pemaparan
terhadap model nonagresif.
Keberadaan model nonagresif dapat berfungsi sebagai penyeimbang kekerasan
terbuka yang terjadi.
5.
Pelatihan
dalam keterampilan social.
6.
Teknik
respons yang tidak tepat (incompatible
response techniques)—suatu teknik untuk mengurangi agresi di mana individu dipaparkan
pada kejadian atau stimulus yang menyebabkan mereka mengalami keadaan afeksi
yang tidak tepat dengan kemarahan atau agresi. Contoh: membuat diri sendiri
tertawa dengan mengingat hal yang lucu ketika merasa sedang marah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar