BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas mengenai definisi self-efficacy, dimensi-dimensi self-efficacy, faktor-faktor yang
mempengaruhi self-efficacy dan
sumber-sumber self-efficacy. Definisi pola asuh orang tua,
tehnik-tehnik pola asuh orang tua, faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua. Kemudian dilanjutkan dengan kerangka berpikir dan
hipotesis.
A. Self-Efficacy
1.
Definisi Self-Efficacy
Self-efficacy cenderung konsisten sepanjang waktu tetapi
bukan berarti berubah. Umpan balik positif terhadap
kemampuan individu akan meningkatkan self-efficacy. Menurut Baron (2004 : 183) self-efficacy adalah keyakinan individu
akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai
tujuan atau mengatasi sebuah hambatan. Hal ini didukung oleh Frenken (Bandura,
1994 : 23) yang menyatakan bahwa self-efficacy
adalah pengharapan yang memusatkan kepada kepercayaan terhadap kemampuan
individu untuk mengatur dan meminimalkan tingkah laku yang tidak mendukung
untuk menghasilkan sesuatu yang baik.
Pada
umumnya sebab-sebab individu kurang memiliki self-efficacy adalah kurangnya kemampuan sosial, atribusi yang tidak
tepat, tidak memadainya karakter diri dan tidak bersedia untuk mengambil
inisiatif dalam persahabatan. Bandura (dalam Baron, 2004 : 183) mengajukan
konsep self-efficacy kolektif yaitu
keyakinan yang dibagi oleh anggota sebuah kelompok bahwa aksi kolektif akan
menghasilkan efek yang diinginkan. Anggota yang tidak yakin pada self-efficacy kolektif beranggapan bahwa
anggota tersebut tidak dapt mengubah apapun sehingga anggota tersebut menyerah
dan menjadi apatis terhadap isu politik.
Sedangkan
menurut Bandura (1997 : 2) mengatakan bahwa self-efficacy
adalah sejauhmana individu akan
kemampuan dirinya dalam melakukan suatu tindakan atau perilaku pada situasi
tertentu. Evaluasi ini dapat bervariasi tergantung pada situasi. Pada umumnya,
individu akan bertindak untuk mencapai tujuan jika individu tersebut merasa
akan mendapatkan hasil dari tindakannya itu. Jika individu tersebut tidak merasa
yakin bahwa tindakannya akan berhasil maka individu tersebut merasa imbalan
untuk tindakannya cenderung tidak ada atau relatif hanya sedikit.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah pengharapan yang memusatkan kepada
keyakinan yang ada didalam diri mengenai seberapa besar kemampuannya dalam
mengerjakan sutau tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu.
2. Dimensi-dimensi Self-Efficacy
Menurut Bandura (1997 : 9) self-efficacy bervariasi dalam tiga dimensi antara lain
:
a. Tingkat kesulitan tugas (levels)
Tingkat kesulitan tugas
merupakan derajat kesulitan tugas individu dimana individu merasa mampu untuk
melakukannya. Individu dapat merasa mampu melakukan suatu tugas mulai dari
tugas yang sederhana, agak sulit, sampai yang paling sulit.
b. Kemantapan keyakinan (strength)
Kemantapan keyakinan merupakan
derajat keyakinan individu mengenai kemampuannya. Berdasarkan perkiraan
individu yang memiliki keyakinan diri yang kurang kuat mengenai kemampuannya,
maka dapat dengan mudah menyerah apabila menghadapi hambatan dalam melakukan
suatu tugas. Begitu pula sebaliknya bagi individu yang memiliki keyakinan yang
kuat akan kemampuannya, maka akan bersikap optimis dan terus-menerus berusaha
untuk mencapai apa yang diinginkannya.
c. Luas bidang perilaku (generality)
Luas bidang perilaku merupakan situasi
spesifik dimana individu merasa yakin akan kemampuan dirinya dan mampu untuk
melakukan kegiatan yang bermacam-macam.
Berdasarkan uraian diatas maka
dapat disimpulkan bahwa derajat antara penilaian self-efficacy dengan perilaku tindakan yang ditimbulkan oleh setiap
individu tergantung dari kuat lemahnya self-efficacy
individu tersebut. Semakin kuat self-efficacy
yang dirasakan, maka individu akan memilih tugas yang menantang dan pada jangka
waktu yang lama individu akan tetap bertahan sampai berhasil melaksanakan
setiap tugasnya dengan baik.
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Self-Efficacy
Tinggi rendahnya tingkat self-efficacy karyawan tergantung oleh faktor-faktor
penentu yang dapat mendukung atau malah menjadi penghambat berkembangnya self-efficacy individu. Oleh karena itu menurut Bandura
(1994 : 393) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy didalam diri individu, antara lain :
a.
Sifat tugas yang dihadapi individu
Derajat komleksitas dan kesulitan
dari tugas yang akan dihadapi akan mempengaruhi penilaian individu terhadap
kemampuannya. Semakin kompleks dan sulit suatu tugas, maka individu akan
semakin rendah menilai kemampuannya dan begitu pula dalam peran individu dalam
menghadapi tugasnya. Sebaliknya jika dihadapkan pada tugas sederhana dan mudah,
maka individu akan menilai tinggi kemampuannya dan lebih tertarik serta
bersemangat dalam mengerjakan tugasnya.
b.
Insentif eksternal
Bandura
menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan self-efficacy adalah Competence Contingent Incentif
yaitu insentif (reward) yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan
keberhasilan individu dalam menguasai atau melaksanakan sesuatu.
c. Status atau peran individu dalam
lingkungan
Individu yang
memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yang lebih
besar pula, sehingga dapat diharapkan akan memiliki self-efficacy yang lebih tinggi.
d. Informasi tentang kemampuan diri
Individu akan
meningkatkan self-efficacynya jika individu tersebut mendapat
informasi yang positif tentang dirinya, begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan
uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat empat faktor yang
mempengaruhi self-efficacy diantaranya sifat tugas yang dihadapi
individu, insentif eksternal, status atau peran individu dalam lingkungan dan
informasi tentang kemampuan diri.
4. Sumber-sumber Self-Efficacy
Bandura (1997 : 3-5)
menyatakan bahwa self-efficacy terdiri dari empat sumber yaitu : pengalaman diri
sendiri (mastery experience),
pengalaman orang lain (vicarious
experience), pendekatan atau kepercayaan sosial (verbal persuassion) dan keadaan fisik dan emosi (psychological and emotional states).
Keempat sumber tersebut akan diuaraikan sebagai berikut :
a. Pengalaman diri sendiri (mastery experince)
Pengalaman mengenai
keberhasilan dan kegagalan yang dialami individu dalam suatu bidang dapat
menentukan tingkat self-efficacynya. Keberhasilan dapat meningkatkan self-efficacy dan kegagalan yang terus
menerus terjadi akan menurunkan self-efficacy,
terutama jika kegagalan terjadi pada awal unjuk kerja dan tidak dikarenakan
usaha yang kurang atau salahnya strategi sebagai penyebab kegagalan.
b. Pengalaman orang lain (vicarious experience)
Melihat realita dari
keberhasialan orang lain, akan meningkatkan keyakinan bahwa individu juga
memiliki kemampuan untuk berhasil dalam melakuakn aktivitas yang sama. Begitu
juga dipihak lain, melihat orang lain yang memiliki kemampuan yang sama
mengalami kegagalan walaupun sudah berusaha maka akan menurunkan penilaian
kemampuan dan usaha individu.
c. Pendekatan atau kepercayaan sosial (social persuassion)
Pendekatan sosial digunakan
untuk menyakinkan individu bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mencapai
tujuannya. Individu yang diyakinkan secara verbal bahwa dirinya sanggup untuk
menghadapi situasi yang rumit akan tetap bertahan daripada individu yang selalu
merasa khawatir akan segala kemampuan dan kekurangannya ketika berhadapan
dengan suatu masalah akan mendorong individu tersebut untuk mengembangkan
kemampuan serta kepercayaan dirinya.
d. Keadaan fisik dan emosi (psychological and emotional states)
Individu juga mengukur self-efficacy berdasarkan keadaan fisik dan suasana hati (emosi) dalam menilai
kemampuannya. Individu menginterpretasikan segal bentuk tekanan sebagai akibat
dari kurangnya usaha. Informasi mengenai keadaan fisik yang diterima individu
akan mempengaruhi penilaian mengenai kemampuannya dalam mengerjakan suatu
tugas.
Informasi yang diperoleh dari keemapt sumber yang telah
diuraikan diatas, akan membentuk persepsi mengenai kemampuan yang dimiliki
individu. self-efficacy individu
sangat ditentukan oleh persepsi terhadap kemampuan yang dimiliki dan sejauhmana
tingkat kesulitan tugas yang dihadapi. Sumber-sumber seperti pengalaman
pribadi, pengalaman orang lain, pendekatan atau kepercayaan social serta
keadaan fisik dan emosi yang diteriam individu akan mempengaruhi tinggi rendahnya
self-efficacy seseorang.
B. Pola Asuh Orang Tua
1. Definisi Pola Asuh Orang Tua
Keluarga merupakan lingkungan
pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak. Pendidikan keluarga lebih
menekankan aspek moral atau pembentukan kepribadian daripada pendidikan untuk
menguasai ilmu pengetahuan. Dasar dan tujuan penyelenggaraan pendidikan
keluarga bersifat individual sesuai dengan pandangan hidup keluarga
masing-masing Enung Fatimah, 2006 : 175). Menurut Singgih Gunarsa (2002 : 43)
keluarga adalah tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberinya
penampungan baginya, tempat anak akan memperoleh rasa aman.
Hal ini tentunya sangat dipengaruhi
oleh pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap remaja. Menurut Edy Purwanto
(2001 : 1) poal asuh orang tua yaitu cara-cara yang digunakan orang tua dalam
memperlakukan anak. Setiap sikap dan perilaku orang tua baik secara tidak
langsung dapat mempengaruhi anak karena menurut Gunarsa & Gunarsa (dalam
Edy Purwanto, 2001 : 1) menunjukkan bahwa dalam berinteraksi dengan anak
seringkali dengan tidak sengaja, tanpa disadari mengambil sikap tertentu
sehingga anak melihat dan menerima sikap orang tuanya dan memperlihatkan suatu
reaksi dalam tingkah lakunya yang dibiasakan, sehingga akhirnya menjadi suatu
pola kepribadian. Oleh karena itu pola asuh yang diterapkan orang tua sangatlah
berpengaruh bagi perkembangan anak selanjutnya.
Adapun tujuan orang tua dalam
memberikan pengasuhan pada anak menurut
Hurlock (1992 : 107) adalah mempersiapkan anak untuk dapat berperan
dengan baik dalam tujuan lingkungan sosial dengan memperlihatkan perilaku kedalam
pola yang disetujui masyarakat. Orang tua mempersiapkan anak-anak baik dari
segi fisik dan mental agar dapat menjalani kehidupan dan mendapatkan masa depan
yang lebih baik.
Dari teori yang dikemukakan diatas
dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu pola asuh orang tua adalah cara bagaimana
orang tua bersikap dan berperilaku di dalam berinteraksi dan membentuk
kepribadian anaknya.
2.
Tehnik-tehnik Pola Asuh Orang Tua
Terdapat berbagai bentuk tehnik pola
pengasuhan yang diterapkan orang tua terhadap anak-anaknya. Menurut pendapat
Baumrind (dalam Santrock, 2003 : 185) terdapat tiga jenis cara menjadi orang
tua yaitu :
a.
Pengasuhan Autoritarian (Authoritarian parenting)
Merupakan suatu tehnik pengasuhan orang
tua yang ditandai dengan gaya
yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti
petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang
bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap anak dan
hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan
perilaku sosial anak yang tidak cakap.
Sebagai contoh : Orang tua autoritarian
bisa berkata, “kamu harus melakukan apa yang saya katakan. Tidak ada
tawar-menawar!”. Anak yang orang tuanya otoriter seringkali merasa cemas akan
perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan dan memiliki kemampuan
komunikasi yang rendah.
b.
Pengasuhan Autoritatif (Authoritative parenting)
Merupakan suatu tehnik pengasuhan orang
tua dengan mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan
mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa
berlangsung dengan bebas dan orang tua bersikap hangat serta bersifat
membesarkan hati anak. Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku social
anak yang kompeten.
Sebagai contoh : seorang ayah yang
bersifat otoritatif bisa merangkul si anak dengan nyaman dan berkata, “kamu
tahu, kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Mari bicarakan bagaimana kamu
bisa mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik dimasa depan”. Anak yang
orang tuanya bersifat autoritatif akan sadar diri dan bertanggung jawab secara
sosial.
c.
Pengasuhan Permisif (permissive parenting)
Terdapat dua macam pengasuhan permisif
yaitu bersifat permisif-tidak peduli dan bersifat permisif-memanjakan.
1)
Pengasuhan Permisif (permissive parenting)adalah suatu pola
dimana si orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anak. Hal ini
berkaitan dengan perilaku social anak yang tidak cakap, terutama kurangnya
pengendalian diri. Orang tua yang bersifat permisif-tidak peduli tidak bisa menjawab
pertanyaan, “sekarang sudah jam 10 malam. Apakah anda tahu dimana anak anada
berada?”. Anak sangat membutuhkan perhatian orang tua mereka. Anak yang orang
tuanya permisif-tidak peduli mendapat kesan bahwa aspek orang tua lebih penting
daripada si anak. Anak juga biasanya menjadi tidak cakap secara sosial. Anak
memiliki pengendalian yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan
baik.
2)
Pengasuhan permisif-memanjakan
(permissive-indulgent parenting)
adalah suatu pola dimana orang tua sangat terlibat dengan anak tetapi sedikit
sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif-memanjakan ini
berkaitan dengan ketidakcakapan sosial anak, terutama kurangnya pengendalian
diri. Orang tua yang bersifat permisif-memanjakan mengijinkan anak melakukan
apa yang mereka inginkan dan akaibanya adalah si anak tidak pernah belajar
bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu berharap mereka bisa
mendapat semua keinginannya. Di kemudian hari anak memiliki sedikit teman,
bersifat memanjakan diri dan tidak pernah belajar mematuhi peraturan dan
ketentuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian diatas, terdapat
tiga bentuk tehnik pola pengasuhan yang diterapkan orang tua yaitu pengasuhan
autoritarian (authoritarian parenting),
pengasuhan autoritatif (authoritative
parenting), pengasuhan permisif (permissive
parenting) yang terbagi juga, menjadi dua yaitu, pengasuhan permisif (permissive parenting) dan pengasuhan
permisif-memanjakan (permissive-indulgent
parenting).
3.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
Didalam mengasuh anak-anaknya,
terdapat perbedaan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap
anak-anaknya tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (1992 : 95) pola
asuh yang diterapkan orang tua terhadap anaknya tidak sama karena pola asuh
tercipta dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu :
a.
Kesamaan dengan pola asuh yang
digunakan orang tua
Orang tua akan menerapkan pola asuh
dalam keluarga sesuai dengan pola asuh yang diterimanya sewaktu kanak-kanak,
apabila orang tua merasa cara yang digunakan berhasil, mereka akan menggunakan
cara yang sama.
b.
Penyesuaian dengan cara yang
disetujui kelompok
Orang tua yang usianya lebih muda dan
tidak berpengalaman akan lebih dipengaruhi oleh anggota kelompok yang dianggap
baik.
c.
Usia orang tua
Orang tua muda cenderung lebih
demokratis dan permisif disbanding yang tua. Mereka cenderung lebih mengurangi
kendala tatkala anak menjelang remaja.
d.
Pendidikan untuk menjadi orang
tua.
Orang tua yang telah mendapatkan banyak
pelajaran mengenai mengasuh anak dan tahu akan kebutuhannya sehingga
menggunakan tehnik demokratis dibandingkan dengan orang tua yang tidak banyak
belajar.
e.
Jenis kelamin
Wanita pada umumnya lebih mengerti anak
dan kebutuhannya dibandingkan dengan pria dan mereka cenderung kurang otoriter.
f.
Status sosial ekonomi
Orang tua dengan status ekonomi
menengah dan rendah cenderung lebih keras, memaksa dan kuarang toleran
dibandingkan dengan orang tua dari kelas social atas, tetapi mereka lebih
konsisten. Semakin berpendidikan, semakin mereka menyukai didiplin
demokratis.yang telah menganut konsep yang lebih modern
g.
Konsep mengenai orang dewasa
Orang tua yang mempertahankan konsep
tradisional mengenai peran orang tua, cenderung lebih otoriter dibandingkan
dengan orang tua yang telah menganut konsep yang lebih modern.
h.
Jenis kelamin anak
Orang tua pada umumnya lebih keras
bersikap terhadap anak wanita daripada anak pria.
i.
Usia anak
Disiplin otoriter jauh lebih umum
digunakan pada anak kecil daripada mereka yang lebih besar.
j.
Situasi
Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak
diganjar hukuman, sedangkan sikap menentang, negativisme dan agresif
kemungkinan mendorong pengendalian yang otoriter.
Dari uraian diatas dapat ditarik sebuah
kesimpulan yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola asuh orang tua
yaitu diantaranya, kesamaan dengan pola asuh yang digunakan orang tua, penyesuaian
dengan cara yang disetujui kelompok, usia orang tua, pendidikan untuk menjadi
orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi, konsep mengenai orang dewasa,
jenis kelamin anak, usia anak dan situasi.
C.
Kerangka Berpikir
Pada usia remaja terdapat pula
tugas-tugas perkembangan tertentu yang harus dipenuhi oleh individu diantaranya
adalah dapat mengembangkan keterampilan dalam komunikasi interpersonal yaitu,
belajar membina relasi dengan teman sebaya dan orang dewasa baik secara
individu maupun kelompok dan dapat menerima diri sendiri serta dapat
mengandalkan kemampuan dan sumber-sumber yang ada pada dirinya (Hendriati
Agustiani, 2006 : 37).
Pada dasarnya pemahaman dan keyakinan diri (self-efficacy)
atas kemampuan dan kapasitas diri sering menjadi masalah bagi para remaja.
Individu dalam berperilaku sering dapat diprekdisi berdasarkan
keyakinan-keyakinan akan kemampuannya. Keyakinan tersebut membantu individu
menentukan sesuatu yang akan dilakukan dengan pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya.
Apabila remaja memiliki keyakinan terhadap kemampuan
yang dimilikinya (self-efficacy), maka remaja tersebut dapat menggunakan pengetahuan dan
keterampilannya tersebut, secara efektif untuk mengatasi situasi yang
dihadapinya yang berkaitan dengan tugas-tugas perkembangannya tersebut. Menurut Baron (2004 : 183) self-efficacy adalah keyakinan individu
akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai
tujuan atau mengatasi sebuah hambatan. Kekuatan keyakinan remaja
sebagai individu (self-efficacy) terhadap efektivitas
dirinya, mempengaruhi keinginannya untuk mencoba beradaptasi dengan baik
terhadap situasi yang dihadapinya.
Keluarga merupakan lingkungan
pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak dalam pembentukan self-efficacynya. Pendidikan
keluarga lebih menekankan aspek moral atau pembentukan kepribadian daripada
pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Untuk itu, perkembangan diri anak
terutama pembentukan kepribadiannya, dalam hal ini yaitu self-efficacynya, sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan oleh orang tua
karena sebagian besar waktu kehidupan anak dilalui bersama dengan orang tuanya
tersebut. Menurut Santrock (2003 : 185) pola asuh orang tua adalah sikap orang
tua dalam berhubungan atau berinteraksi dengan anak-anak dalam kehidupan
sehari-hari yang dapat dilihat melalui cara orang tua mengontrol dan mengawasi
tuntutan terhadap tingkah laku, cara berkomunikasi serta sikap pemeliharaan
orang tua kepada anaknya.
Didalam mengasuh anak-anaknya, terdapat
perbedaan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak-anaknya
tersebut. Menurut Baumrind (Agoes Dariyo, 2007 : 206) ada empat jenis pola asuh
orang tua. Pola asuh yang pertama adalah otoriter (authoritarian) dimana dalam pola asuh ini orang tua merupakan
sentral artinya segala ucapan, perkataan maupun kehendak orang tua dijadikan
patokan (aturan) yang harus ditaati oleh anak-anak. Orang tua beranggapan agar
aturan itu stabil dan tak berubah, maka seringkali orang tua tak menyukai
tindakan anak yang memprotes, mengkritik atau membantahnya. supaya taat,
orangtua tak segan-segan menerapkan hukuman yang keras kepada anak.
Dalam pola asuh otoriter, self-efficacy anak tidak dapat berkembang dengan baik karena orang tua tidak
menyukai tindakan anak yang memprotes, mengkritik atau membantah aturan yang
telah ditetapkan oleh orang tua, sehingga anak tidak mempunyai kesempatan untuk
dapat mengemukakan gagasan, ide, pemikiran maupun inisiatifnya. Sehingga
sebagai akibat selanjutnya maka anak cenderung tumbuh menjadi pribadi yang
lebih pesimis dan mempunyai sikap tidak peduli. Anak yang orang tuanya otoriter
seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan
dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah.
Pola asuh yang kedua adalah permisif (permissive) dimana dalam pola asuh ini
orang tua justru merasa tidak perduli kepada anaknya dan cenderung memberi
kesempatan serta kebebasan secara luas kepada anaknya. Orang tua seringkali
menyetujui terhadap semua tuntutan dan kehendak anaknya. Semua kehidupan
keluarga seolah-olah sangat ditentukan oleh kemauan dan keinginan anak. Jadi
anak merupakan sentral dari segala aturan dalam keluarga. Dengan demikian orang
tua tidak mempunyai kewibawaaan. Akibatnya segala pemikiran, pendapat maupun
pertimbangan orang tua cenderung tidak pernah diperhatikan oleh anak.
Dalam pola asuh permisif, self-efficacy anak juga tidak dapat berkembang dengan baik, karena semua kehidupan
keluarga seolah-olah sangat ditentukan oleh kemauan dan keinginan anak sehingga
orang tua selalu menuruti semua tuntutan dan kehendak dari anaknya atau dengan
kata lain anak merupakan sentral dari segala aturan dalam keluarga. Dalam
perkembangan self-efficacynya
dikemudian hari, anak akan mengalami banyak kesulitan di dalam beradaptasi
dengan dunia luar karena anak akan menjadi pribadi yang selalu bergantung
kepada orang lain. Hal tersebut mendorong mereka untuk mencari perhatian dan
bantuan kepada orang lain didalam menghadapi setiap masalah sehinggga self-efficacynya pun menjadi rendah dan anak menjadi tidak yakin akan kemampuan
dirinya. Beberapa anak pun cenderung melakukan-tindakan yang melanggar nilai,
norma dan aturan sosial karena menyalahgunakan kebebasan yang diberikan oleh
orang tuanya.
Pola asuh yang ketiga adalah demokratis (authoritative) dimana dalam pola asuh
ini orang tua maupun anak mempunyai kesempatan yang sama untuk menyampaikan
gagasan, ide, atau pendapat untuk mencapai keputusan. Dengan demikian orang tua
dan anak dapat berdiskusi, berkomunikasi atau berdebat secara konstruktif,
logis, rasional demi mencapai kesepakatan bersama. Karena hubungan komunikasi
antara orang tua dan anak menyenangkan maka terjadi pengembangan kepribadian
yang mantap pada diri anak. Anak makin mandiri, matang dan dapat menghargai
diri sendiri dengan baik.
Dalam pola asuh demokratis self-efficacy anak dapat terbentuk dengan baik karena baik orang tua maupun anak
mempunyai kesempatan yang sama untuk menyampaikan gagasan, ide atau pendapat
untuk mencapai suatu keputusan. Dengan demikian orang tua dan anak dapat
berdiskusi, berkomunikasi atau berdebat secara konstruktif, logis, rasional
demi mencapai kesepakatan bersama. Karena hubungan komunikasi antara orang tua
dan anak dapat berjalan menyenangkan, maka anak pun menjadi lebih berani
mengutarakan pendapatnya dan lebih optimis didalam hidupnya sehingga self-efficacy yang dimilikinya pun menjadi meningkat. Anak yang orang tuanya
bersifat autoritatif akan sadar diri dan bertanggung jawab secara sosial.
Sedangkan pola asuh yang keempat adalah situasional (situational) dimana dalam pola asuh ini
merupakan campuran dari ketiga pola asuh sebelumnya yang penerapannya
disesuaikan kondisi situasi yang dihadapi. Karena tak tertutup kemungkinan
orang tua yang menerapkan pola asuh itu, tidak tahu apa nama atau jenis pola
asuh yang dipergunakan, sehingga secara tak beraturan menggunakan campuran
ketiga pola asuh diatas. Jadi dalam hal ini, tidak ada patokan atau parameter
khusus yang menjadi dasar bagi orang tua untuk dapat menggunakan pola asuh
permisif, otoriter maupun demokratis. Hal ini disesuaikan dengan kondisi dan
situasi, tempat dan waktu bagi setiap keluarga yang bersangkutan.
Dalam penelitian Baumrind (Agoes Dariyo, 2007 : 214)
ditemukan bahwa pola pengasuhan (parenting
style) yang efektif untuk pengembangan kepribadian diri, ditandai dengan
komunikasi dua arah antara orang tua dengan anak-anaknya. Dimana anak dapat
merasa nyaman berada di dalam keluarganya karena merasa dihargai oleh anggota
keluarga yang lain dalam hal ini terutama orang tua sehingga self-efficacy anak pun dapat lebih dipupuk dan dikembangkan. Oleh karena itu pola
pengasuhan demokratis cenderung memberi pengaruh yang lebih baik untuk
pengembangan self-efficacy anak
bila dibandingkan dengan pola pengasuhan permisif atau otoriter.
D. HIPOTESIS
Hipotesis
adalah kesimpulan yang bersifat sementara. Diterima atau ditolak suatu hipotesa
tergantung hasil penelitian yang diuraikan. Berdasarkan konsep teori yang
diuraikan penulis mengajukan hipotesa yang diuji.
Ha : Ada hubungan antara pola asuh orang tua
dengan self-efficacy pada siswa-siswi
SMUN X di Jakarta
oke
BalasHapus