JS

Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 02 Juli 2013

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN SELF-EFFICACY PADA SISWA-SISWI SMUN X DI JAKARTA BAB 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas mengenai definisi self-efficacy, dimensi-dimensi self-efficacy, faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy dan sumber-sumber self-efficacy. Definisi pola asuh orang tua, tehnik-tehnik pola asuh orang tua, faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua. Kemudian dilanjutkan dengan kerangka berpikir dan hipotesis.

A.  Self-Efficacy
1.      Definisi Self-Efficacy
Self-efficacy cenderung konsisten sepanjang waktu tetapi bukan berarti berubah. Umpan balik positif terhadap kemampuan individu akan meningkatkan self-efficacy. Menurut Baron (2004 : 183) self-efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai tujuan atau mengatasi sebuah hambatan. Hal ini didukung oleh Frenken (Bandura, 1994 : 23) yang menyatakan bahwa self-efficacy adalah pengharapan yang memusatkan kepada kepercayaan terhadap kemampuan individu untuk mengatur dan meminimalkan tingkah laku yang tidak mendukung untuk menghasilkan sesuatu yang baik.
Pada umumnya sebab-sebab individu kurang memiliki self-efficacy adalah kurangnya kemampuan sosial, atribusi yang tidak tepat, tidak memadainya karakter diri dan tidak bersedia untuk mengambil inisiatif dalam persahabatan. Bandura (dalam Baron, 2004 : 183) mengajukan konsep self-efficacy kolektif yaitu keyakinan yang dibagi oleh anggota sebuah kelompok bahwa aksi kolektif akan menghasilkan efek yang diinginkan. Anggota yang tidak yakin pada self-efficacy kolektif beranggapan bahwa anggota tersebut tidak dapt mengubah apapun sehingga anggota tersebut menyerah dan menjadi apatis terhadap isu politik.
            Sedangkan menurut Bandura (1997 : 2) mengatakan bahwa self-efficacy adalah sejauhmana individu akan kemampuan dirinya dalam melakukan suatu tindakan atau perilaku pada situasi tertentu. Evaluasi ini dapat bervariasi tergantung pada situasi. Pada umumnya, individu akan bertindak untuk mencapai tujuan jika individu tersebut merasa akan mendapatkan hasil dari tindakannya itu. Jika individu tersebut tidak merasa yakin bahwa tindakannya akan berhasil maka individu tersebut merasa imbalan untuk tindakannya cenderung tidak ada atau relatif hanya sedikit.
            Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah pengharapan yang memusatkan kepada keyakinan yang ada didalam diri mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan sutau tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu.

2.   Dimensi-dimensi Self-Efficacy
Menurut Bandura (1997 : 9) self-efficacy bervariasi dalam tiga dimensi antara lain :

a.       Tingkat kesulitan tugas (levels)
Tingkat kesulitan tugas merupakan derajat kesulitan tugas individu dimana individu merasa mampu untuk melakukannya. Individu dapat merasa mampu melakukan suatu tugas mulai dari tugas yang sederhana, agak sulit, sampai yang paling sulit.
b.      Kemantapan keyakinan (strength)
Kemantapan keyakinan merupakan derajat keyakinan individu mengenai kemampuannya. Berdasarkan perkiraan individu yang memiliki keyakinan diri yang kurang kuat mengenai kemampuannya, maka dapat dengan mudah menyerah apabila menghadapi hambatan dalam melakukan suatu tugas. Begitu pula sebaliknya bagi individu yang memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuannya, maka akan bersikap optimis dan terus-menerus berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya.
c.       Luas bidang perilaku (generality)
   Luas bidang perilaku merupakan situasi spesifik dimana individu merasa yakin akan kemampuan dirinya dan mampu untuk melakukan kegiatan yang bermacam-macam.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa derajat antara penilaian self-efficacy dengan perilaku tindakan yang ditimbulkan oleh setiap individu tergantung dari kuat lemahnya self-efficacy individu tersebut. Semakin kuat self-efficacy yang dirasakan, maka individu akan memilih tugas yang menantang dan pada jangka waktu yang lama individu akan tetap bertahan sampai berhasil melaksanakan setiap tugasnya dengan baik. 
           
3.      Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-Efficacy  
Tinggi rendahnya tingkat self-efficacy karyawan tergantung oleh faktor-faktor penentu yang dapat mendukung atau malah menjadi penghambat berkembangnya self-efficacy individu. Oleh karena itu menurut Bandura (1994 : 393) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy didalam diri individu, antara lain :
a.       Sifat tugas yang dihadapi individu
Derajat komleksitas dan kesulitan dari tugas yang akan dihadapi akan mempengaruhi penilaian individu terhadap kemampuannya. Semakin kompleks dan sulit suatu tugas, maka individu akan semakin rendah menilai kemampuannya dan begitu pula dalam peran individu dalam menghadapi tugasnya. Sebaliknya jika dihadapkan pada tugas sederhana dan mudah, maka individu akan menilai tinggi kemampuannya dan lebih tertarik serta bersemangat dalam mengerjakan tugasnya.
b.      Insentif eksternal
Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan self-efficacy adalah Competence Contingent Incentif yaitu insentif (reward) yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan individu dalam menguasai atau melaksanakan sesuatu.

c.       Status atau peran individu dalam lingkungan
Individu yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yang lebih besar pula, sehingga dapat diharapkan akan memiliki self-efficacy yang lebih tinggi.
d.      Informasi tentang kemampuan diri
Individu akan meningkatkan self-efficacynya jika individu tersebut mendapat informasi yang positif tentang dirinya, begitu pula sebaliknya.
            Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi self-efficacy diantaranya sifat tugas yang dihadapi individu, insentif eksternal, status atau peran individu dalam lingkungan dan informasi tentang kemampuan diri.

4.   Sumber-sumber Self-Efficacy  
Bandura (1997 : 3-5) menyatakan bahwa self-efficacy terdiri dari empat sumber yaitu : pengalaman diri sendiri (mastery experience), pengalaman orang lain (vicarious experience), pendekatan atau kepercayaan sosial (verbal persuassion) dan keadaan fisik dan emosi (psychological and emotional states). Keempat sumber tersebut akan diuaraikan sebagai berikut :
a.       Pengalaman diri sendiri (mastery experince)
Pengalaman mengenai keberhasilan dan kegagalan yang dialami individu dalam suatu bidang dapat menentukan tingkat self-efficacynya. Keberhasilan dapat meningkatkan self-efficacy dan kegagalan yang terus menerus terjadi akan menurunkan self-efficacy, terutama jika kegagalan terjadi pada awal unjuk kerja dan tidak dikarenakan usaha yang kurang atau salahnya strategi sebagai penyebab kegagalan.
b.      Pengalaman orang lain (vicarious experience)
Melihat realita dari keberhasialan orang lain, akan meningkatkan keyakinan bahwa individu juga memiliki kemampuan untuk berhasil dalam melakuakn aktivitas yang sama. Begitu juga dipihak lain, melihat orang lain yang memiliki kemampuan yang sama mengalami kegagalan walaupun sudah berusaha maka akan menurunkan penilaian kemampuan dan usaha individu.
c.       Pendekatan atau kepercayaan sosial (social persuassion)
Pendekatan sosial digunakan untuk menyakinkan individu bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mencapai tujuannya. Individu yang diyakinkan secara verbal bahwa dirinya sanggup untuk menghadapi situasi yang rumit akan tetap bertahan daripada individu yang selalu merasa khawatir akan segala kemampuan dan kekurangannya ketika berhadapan dengan suatu masalah akan mendorong individu tersebut untuk mengembangkan kemampuan serta kepercayaan dirinya.
d.      Keadaan fisik dan emosi (psychological and emotional states)
Individu juga mengukur self-efficacy berdasarkan keadaan fisik dan suasana hati (emosi) dalam menilai kemampuannya. Individu menginterpretasikan segal bentuk tekanan sebagai akibat dari kurangnya usaha. Informasi mengenai keadaan fisik yang diterima individu akan mempengaruhi penilaian mengenai kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas.
Informasi yang diperoleh dari keemapt sumber yang telah diuraikan diatas, akan membentuk persepsi mengenai kemampuan yang dimiliki individu. self-efficacy individu sangat ditentukan oleh persepsi terhadap kemampuan yang dimiliki dan sejauhmana tingkat kesulitan tugas yang dihadapi. Sumber-sumber seperti pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, pendekatan atau kepercayaan social serta keadaan fisik dan emosi yang diteriam individu akan mempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy seseorang.

B.     Pola Asuh Orang Tua
1.   Definisi Pola Asuh Orang Tua
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak. Pendidikan keluarga lebih menekankan aspek moral atau pembentukan kepribadian daripada pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Dasar dan tujuan penyelenggaraan pendidikan keluarga bersifat individual sesuai dengan pandangan hidup keluarga masing-masing Enung Fatimah, 2006 : 175). Menurut Singgih Gunarsa (2002 : 43) keluarga adalah tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberinya penampungan baginya, tempat anak akan memperoleh rasa aman.
Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap remaja. Menurut Edy Purwanto (2001 : 1) poal asuh orang tua yaitu cara-cara yang digunakan orang tua dalam memperlakukan anak. Setiap sikap dan perilaku orang tua baik secara tidak langsung dapat mempengaruhi anak karena menurut Gunarsa & Gunarsa (dalam Edy Purwanto, 2001 : 1) menunjukkan bahwa dalam berinteraksi dengan anak seringkali dengan tidak sengaja, tanpa disadari mengambil sikap tertentu sehingga anak melihat dan menerima sikap orang tuanya dan memperlihatkan suatu reaksi dalam tingkah lakunya yang dibiasakan, sehingga akhirnya menjadi suatu pola kepribadian. Oleh karena itu pola asuh yang diterapkan orang tua sangatlah berpengaruh bagi perkembangan anak selanjutnya.
Adapun tujuan orang tua dalam memberikan pengasuhan pada anak menurut  Hurlock (1992 : 107) adalah mempersiapkan anak untuk dapat berperan dengan baik dalam tujuan lingkungan sosial dengan memperlihatkan perilaku kedalam pola yang disetujui masyarakat. Orang tua mempersiapkan anak-anak baik dari segi fisik dan mental agar dapat menjalani kehidupan dan mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Dari teori yang dikemukakan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu pola asuh orang tua adalah cara bagaimana orang tua bersikap dan berperilaku di dalam berinteraksi dan membentuk kepribadian anaknya.

2.      Tehnik-tehnik Pola Asuh Orang Tua
Terdapat berbagai bentuk tehnik pola pengasuhan yang diterapkan orang tua terhadap anak-anaknya. Menurut pendapat Baumrind (dalam Santrock, 2003 : 185) terdapat tiga jenis cara menjadi orang tua yaitu :


a.       Pengasuhan Autoritarian (Authoritarian parenting)
Merupakan suatu tehnik pengasuhan orang tua yang ditandai dengan gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap anak dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku sosial anak yang tidak cakap.
Sebagai contoh : Orang tua autoritarian bisa berkata, “kamu harus melakukan apa yang saya katakan. Tidak ada tawar-menawar!”. Anak yang orang tuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah.
b.      Pengasuhan Autoritatif (Authoritative parenting)
Merupakan suatu tehnik pengasuhan orang tua dengan mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas dan orang tua bersikap hangat serta bersifat membesarkan hati anak. Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku social anak yang kompeten.
Sebagai contoh : seorang ayah yang bersifat otoritatif bisa merangkul si anak dengan nyaman dan berkata, “kamu tahu, kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Mari bicarakan bagaimana kamu bisa mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik dimasa depan”. Anak yang orang tuanya bersifat autoritatif akan sadar diri dan bertanggung jawab secara sosial.

c.       Pengasuhan Permisif (permissive parenting)
Terdapat dua macam pengasuhan permisif yaitu bersifat permisif-tidak peduli dan bersifat permisif-memanjakan.
1)      Pengasuhan Permisif (permissive parenting)adalah suatu pola dimana si orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anak. Hal ini berkaitan dengan perilaku social anak yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri. Orang tua yang bersifat permisif-tidak peduli tidak bisa menjawab pertanyaan, “sekarang sudah jam 10 malam. Apakah anda tahu dimana anak anada berada?”. Anak sangat membutuhkan perhatian orang tua mereka. Anak yang orang tuanya permisif-tidak peduli mendapat kesan bahwa aspek orang tua lebih penting daripada si anak. Anak juga biasanya menjadi tidak cakap secara sosial. Anak memiliki pengendalian yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik.
2)      Pengasuhan permisif-memanjakan (permissive-indulgent parenting) adalah suatu pola dimana orang tua sangat terlibat dengan anak tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif-memanjakan ini berkaitan dengan ketidakcakapan sosial anak, terutama kurangnya pengendalian diri. Orang tua yang bersifat permisif-memanjakan mengijinkan anak melakukan apa yang mereka inginkan dan akaibanya adalah si anak tidak pernah belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu berharap mereka bisa mendapat semua keinginannya. Di kemudian hari anak memiliki sedikit teman, bersifat memanjakan diri dan tidak pernah belajar mematuhi peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan. 
Berdasarkan uraian diatas, terdapat tiga bentuk tehnik pola pengasuhan yang diterapkan orang tua yaitu pengasuhan autoritarian (authoritarian parenting), pengasuhan autoritatif (authoritative parenting), pengasuhan permisif (permissive parenting) yang terbagi juga, menjadi dua yaitu, pengasuhan permisif (permissive parenting) dan pengasuhan permisif-memanjakan (permissive-indulgent parenting).

3.      Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
Didalam mengasuh anak-anaknya, terdapat perbedaan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak-anaknya tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (1992 : 95) pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anaknya tidak sama karena pola asuh tercipta dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu :
a.       Kesamaan dengan pola asuh yang digunakan orang tua
Orang tua akan menerapkan pola asuh dalam keluarga sesuai dengan pola asuh yang diterimanya sewaktu kanak-kanak, apabila orang tua merasa cara yang digunakan berhasil, mereka akan menggunakan cara yang sama.
b.      Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok
Orang tua yang usianya lebih muda dan tidak berpengalaman akan lebih dipengaruhi oleh anggota kelompok yang dianggap baik.


c.       Usia orang tua
Orang tua muda cenderung lebih demokratis dan permisif disbanding yang tua. Mereka cenderung lebih mengurangi kendala tatkala anak menjelang remaja.
d.      Pendidikan untuk menjadi orang tua.
Orang tua yang telah mendapatkan banyak pelajaran mengenai mengasuh anak dan tahu akan kebutuhannya sehingga menggunakan tehnik demokratis dibandingkan dengan orang tua yang tidak banyak belajar.
e.       Jenis kelamin
Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya dibandingkan dengan pria dan mereka cenderung kurang otoriter.
f.       Status sosial ekonomi
Orang tua dengan status ekonomi menengah dan rendah cenderung lebih keras, memaksa dan kuarang toleran dibandingkan dengan orang tua dari kelas social atas, tetapi mereka lebih konsisten. Semakin berpendidikan, semakin mereka menyukai didiplin demokratis.yang telah menganut konsep yang lebih modern
g.      Konsep mengenai orang dewasa
Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua, cenderung lebih otoriter dibandingkan dengan orang tua yang telah menganut konsep yang lebih modern.
h.      Jenis kelamin anak
Orang tua pada umumnya lebih keras bersikap terhadap anak wanita daripada anak pria.
i.        Usia anak
Disiplin otoriter jauh lebih umum digunakan pada anak kecil daripada mereka yang lebih besar.
j.        Situasi
Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman, sedangkan sikap menentang, negativisme dan agresif kemungkinan mendorong pengendalian yang otoriter.
Dari uraian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu diantaranya, kesamaan dengan pola asuh yang digunakan orang tua, penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok, usia orang tua, pendidikan untuk menjadi orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi, konsep mengenai orang dewasa, jenis kelamin anak, usia anak dan situasi.

C.    Kerangka Berpikir
Pada usia remaja terdapat pula tugas-tugas perkembangan tertentu yang harus dipenuhi oleh individu diantaranya adalah dapat mengembangkan keterampilan dalam komunikasi interpersonal yaitu, belajar membina relasi dengan teman sebaya dan orang dewasa baik secara individu maupun kelompok dan dapat menerima diri sendiri serta dapat mengandalkan kemampuan dan sumber-sumber yang ada pada dirinya (Hendriati Agustiani, 2006 : 37).
Pada dasarnya pemahaman dan keyakinan diri (self-efficacy) atas kemampuan dan kapasitas diri sering menjadi masalah bagi para remaja. Individu dalam berperilaku sering dapat diprekdisi berdasarkan keyakinan-keyakinan akan kemampuannya. Keyakinan tersebut membantu individu menentukan sesuatu yang akan dilakukan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Apabila remaja memiliki keyakinan terhadap kemampuan yang dimilikinya (self-efficacy), maka remaja tersebut dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilannya tersebut, secara efektif untuk mengatasi situasi yang dihadapinya yang berkaitan dengan tugas-tugas perkembangannya tersebut. Menurut Baron (2004 : 183) self-efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai tujuan atau mengatasi sebuah hambatan. Kekuatan keyakinan remaja sebagai individu (self-efficacy) terhadap efektivitas dirinya, mempengaruhi keinginannya untuk mencoba beradaptasi dengan baik terhadap situasi yang dihadapinya.
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak dalam pembentukan self-efficacynya. Pendidikan keluarga lebih menekankan aspek moral atau pembentukan kepribadian daripada pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Untuk itu, perkembangan diri anak terutama pembentukan kepribadiannya, dalam hal ini yaitu self-efficacynya, sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan oleh orang tua karena sebagian besar waktu kehidupan anak dilalui bersama dengan orang tuanya tersebut. Menurut Santrock (2003 : 185) pola asuh orang tua adalah sikap orang tua dalam berhubungan atau berinteraksi dengan anak-anak dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat melalui cara orang tua mengontrol dan mengawasi tuntutan terhadap tingkah laku, cara berkomunikasi serta sikap pemeliharaan orang tua kepada anaknya.
Didalam mengasuh anak-anaknya, terdapat perbedaan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak-anaknya tersebut. Menurut Baumrind (Agoes Dariyo, 2007 : 206) ada empat jenis pola asuh orang tua. Pola asuh yang pertama adalah otoriter (authoritarian) dimana dalam pola asuh ini orang tua merupakan sentral artinya segala ucapan, perkataan maupun kehendak orang tua dijadikan patokan (aturan) yang harus ditaati oleh anak-anak. Orang tua beranggapan agar aturan itu stabil dan tak berubah, maka seringkali orang tua tak menyukai tindakan anak yang memprotes, mengkritik atau membantahnya. supaya taat, orangtua tak segan-segan menerapkan hukuman yang keras kepada anak.
Dalam pola asuh otoriter, self-efficacy anak tidak dapat berkembang dengan baik karena orang tua tidak menyukai tindakan anak yang memprotes, mengkritik atau membantah aturan yang telah ditetapkan oleh orang tua, sehingga anak tidak mempunyai kesempatan untuk dapat mengemukakan gagasan, ide, pemikiran maupun inisiatifnya. Sehingga sebagai akibat selanjutnya maka anak cenderung tumbuh menjadi pribadi yang lebih pesimis dan mempunyai sikap tidak peduli. Anak yang orang tuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah.
Pola asuh yang kedua adalah permisif (permissive) dimana dalam pola asuh ini orang tua justru merasa tidak perduli kepada anaknya dan cenderung memberi kesempatan serta kebebasan secara luas kepada anaknya. Orang tua seringkali menyetujui terhadap semua tuntutan dan kehendak anaknya. Semua kehidupan keluarga seolah-olah sangat ditentukan oleh kemauan dan keinginan anak. Jadi anak merupakan sentral dari segala aturan dalam keluarga. Dengan demikian orang tua tidak mempunyai kewibawaaan. Akibatnya segala pemikiran, pendapat maupun pertimbangan orang tua cenderung tidak pernah diperhatikan oleh anak.
Dalam pola asuh permisif, self-efficacy anak juga tidak dapat berkembang dengan baik, karena semua kehidupan keluarga seolah-olah sangat ditentukan oleh kemauan dan keinginan anak sehingga orang tua selalu menuruti semua tuntutan dan kehendak dari anaknya atau dengan kata lain anak merupakan sentral dari segala aturan dalam keluarga. Dalam perkembangan self-efficacynya dikemudian hari, anak akan mengalami banyak kesulitan di dalam beradaptasi dengan dunia luar karena anak akan menjadi pribadi yang selalu bergantung kepada orang lain. Hal tersebut mendorong mereka untuk mencari perhatian dan bantuan kepada orang lain didalam menghadapi setiap masalah sehinggga self-efficacynya pun menjadi rendah dan anak menjadi tidak yakin akan kemampuan dirinya. Beberapa anak pun cenderung melakukan-tindakan yang melanggar nilai, norma dan aturan sosial karena menyalahgunakan kebebasan yang diberikan oleh orang tuanya.
Pola asuh yang ketiga adalah demokratis (authoritative) dimana dalam pola asuh ini orang tua maupun anak mempunyai kesempatan yang sama untuk menyampaikan gagasan, ide, atau pendapat untuk mencapai keputusan. Dengan demikian orang tua dan anak dapat berdiskusi, berkomunikasi atau berdebat secara konstruktif, logis, rasional demi mencapai kesepakatan bersama. Karena hubungan komunikasi antara orang tua dan anak menyenangkan maka terjadi pengembangan kepribadian yang mantap pada diri anak. Anak makin mandiri, matang dan dapat menghargai diri sendiri dengan baik.
Dalam pola asuh demokratis self-efficacy anak dapat terbentuk dengan baik karena baik orang tua maupun anak mempunyai kesempatan yang sama untuk menyampaikan gagasan, ide atau pendapat untuk mencapai suatu keputusan. Dengan demikian orang tua dan anak dapat berdiskusi, berkomunikasi atau berdebat secara konstruktif, logis, rasional demi mencapai kesepakatan bersama. Karena hubungan komunikasi antara orang tua dan anak dapat berjalan menyenangkan, maka anak pun menjadi lebih berani mengutarakan pendapatnya dan lebih optimis didalam hidupnya sehingga self-efficacy yang dimilikinya pun menjadi meningkat. Anak yang orang tuanya bersifat autoritatif akan sadar diri dan bertanggung jawab secara sosial.
Sedangkan pola asuh yang keempat adalah situasional (situational) dimana dalam pola asuh ini merupakan campuran dari ketiga pola asuh sebelumnya yang penerapannya disesuaikan kondisi situasi yang dihadapi. Karena tak tertutup kemungkinan orang tua yang menerapkan pola asuh itu, tidak tahu apa nama atau jenis pola asuh yang dipergunakan, sehingga secara tak beraturan menggunakan campuran ketiga pola asuh diatas. Jadi dalam hal ini, tidak ada patokan atau parameter khusus yang menjadi dasar bagi orang tua untuk dapat menggunakan pola asuh permisif, otoriter maupun demokratis. Hal ini disesuaikan dengan kondisi dan situasi, tempat dan waktu bagi setiap keluarga yang bersangkutan.
Dalam penelitian Baumrind (Agoes Dariyo, 2007 : 214) ditemukan bahwa pola pengasuhan (parenting style) yang efektif untuk pengembangan kepribadian diri, ditandai dengan komunikasi dua arah antara orang tua dengan anak-anaknya. Dimana anak dapat merasa nyaman berada di dalam keluarganya karena merasa dihargai oleh anggota keluarga yang lain dalam hal ini terutama orang tua sehingga self-efficacy anak pun dapat lebih dipupuk dan dikembangkan. Oleh karena itu pola pengasuhan demokratis cenderung memberi pengaruh yang lebih baik untuk pengembangan self-efficacy anak bila dibandingkan dengan pola pengasuhan permisif atau otoriter.

D.  HIPOTESIS
            Hipotesis adalah kesimpulan yang bersifat sementara. Diterima atau ditolak suatu hipotesa tergantung hasil penelitian yang diuraikan. Berdasarkan konsep teori yang diuraikan penulis mengajukan hipotesa yang diuji.

Ha          :   Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan self-efficacy pada siswa-siswi SMUN X di Jakarta 

1 komentar:

http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://isroi.files.wordpress.com/2010/01/chicken-egg.gif%3Fw%3D468&imgrefurl=http://www.jualcdsoftware.com/2011/11/cara-pasang-animasi-lucu-pada-blog.html&usg=__pffPdWlC4BLeIxRZKT3efI3QZhc=&h=200&w=250&sz=16&hl=id&start=17&sig2=lK53suQGqNLsKL51AuVHUw&zoom=1&tbnid=dl58wn7gc0YGOM:&tbnh=89&tbnw=111&ei=0QLTUeTEJMa8rAf8pYCQAQ&itbs=1&sa=X&ved=0CEoQrQMwEA