BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dijelaskan tentang
latar belakang masalah, rumusan dan pokok bahasan, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.
A. Latar Belakang Masalah
Selama masa penting dalam kehidupan seorang anak, sekolah
berfungsi sebagai dasar untuk menggali kemampuan diri dan sosial dari kemampuan
kognitif. Sekolah adalah tempat dimana anak mengembangkan kemampuan kognitifnya
dan memperoleh pengetahuan baru serta kemampuan di dalam memecahkan masalah
yang sangat penting untuk berpartisipasi secara efektif di masyarakat. Setelah
seorang siswa menguasai kemampuan kognitifnya, secara tidak langsung siswa
tersebut mengembangkan tingkat self-efficacynya.
Pada dasarnya, masing-masing siswa memiliki kemampuan
dalam melakukan aktivitas akademis atau non akademis. Sesuai dengan pendapat
Bandura (1994 : 78) yang menyatakan bahwa keyakinan siswa (self-efficacy) akan kemampuan dirinya didalam menguasai aktivitas
akademisnya, sebagai akibat dari penguasaan dari kemampuan kognitifnya
tersebut, secara tidak langsung dapat mempengaruhi pemikiran, tingkat
ketertarikan pada aktivitas disekolah dan penyelesaian terhadap tugas-tugas
sekolahnya.
Individu dalam
berperilaku sering dapat diprediksi berdasarkan keyakinan-keyakinan akan kemampuannya.
Keyakinan (self-efficacy) tersebut membantu individu menentukan sesuatu yang akan
dilakukan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Kekuatan
keyakinan individu terhadap efektivitas dirinya mempengaruhi keinginannya untuk
mencoba beradaptasi dengan situasi yang dihadapinya. Apabila individu memiliki
keyakinan terhadap kemampuan yang dimilikinya, maka individu tersebut dapat
menggunakan pengetahuan dan keterampilannya secara efektif untuk mengatasi
situasi yang dihadapinya.
Menurut
Agoes Dariyo (2007 : 206) self-efficacy adalah keyakinan seorang
individu yang ditandai dengan keyakinan untuk melakukan sesuatu hal dengan baik
dan berhasil.Orang yang memiliki self-efficacy akan dapat
mempertanggungjawabkan kemampuannya dihadapan orang lain sesuai dengan bakat
dan kemampuannya. Dapat dipastikan orang yang memiliki self-efficacy biasanya
sebagai individu yang percaya diri, optimis dan dapat mencapai sesuatu dengan
baik. Faktor yang
berkaitan erat dengan self-efficacy salah satunya seperti orientasi
sasaran. Self-efficacy dan achievement siswa meningkat saat mereka
menetapkan tujuan yang spesifik, untuk jangka pendek, dan menantang.
Self-efficacy sangat
mempengaruhi mekanisme perilaku manusia. Jika individu yakin mempunyai
keyakinan untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkanya maka individu akan
berusaha untuk mencapainya. Akan tetapi jika individu tidak mempunyai keyakinan
akan kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu maka dia tidak akan berusaha untuk
mewujudkanya. Self-efficacy juga
mempengaruhi besar usaha dan ketahanan individu dalam menghadapi kesulitan.
Individu dengan self-efficacy yang tinggi memandang tugas-tugas sulit sebagai tantangan untuk
menghadapinya. Siswa dengan self-efficacy
yang tinggi memandang tugas-tugas sulit sebagai tantangan
untuk menghadapinya daripada sebagai ancaman untuk dihindari.
Melihat bahwa saat ini
pesat nya persaingan dalam dunia pendidikan yang akan berpengaruh ke dunia
karir kedepannya, maka self-efficacy yang baik sebisa mungkin ditanamkan pada diri
anak sejak dini. Karena dengan tingginya self-efficacy yang dimiliki oleh siswa, siswa akan menetapkan tindakan apa yang akan anak lakukan dalam menghadapi
suatu tugas untuk mencapai tujuan yang diiinginkannya. Selain itu Self-efficacy merupakan mediator yang cukup
berpengaruh terhadap pemilihan minat siswa entah itu dalam bidang akademik
ataupun non akademik. Bila anak merasa mampu
melaksanakan tugas-tugas dalam pilihan tertentu maka biasanya siswa akan
memilihnya. Siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi biasanya akan
berusaha keras untuk menghadapi
kesulitan dan bertahan dalam mengerjakan suatu tugas. Sedangkan siswa yang mempunyai
self
efficacy yang rendah akan terganggu
oleh keraguan terhadap kemampuan diri dan mudah menyerah bila menghadapi
kesulitan dalam mengerjakan tugas.
Self-efficacy tumbuh
dalam keluarga, karena sebagian besar waktu kehidupan anak dilalui bersama
orang tua. Orang tua bertangung jawab terutama dalam
soal mendidiknya, baik ayah sebagai kepala keluarga maupun ibu sebagai pengurus
rumah tangga. Keikutsertaan orang tua dalam mendidik anak merupakan awal
keberhasilan orang tua dalam keluarga. Orangtua bertanggung jawab terhadap
pemenuhan segala kebutuhan anak. Selain itu orangtua juga berperan sebagai guru
pertama dan berperan penting dalam pembentukan sikap, kepercayaan, nilai dan
tingkah laku anak. Peran orangtua harus berubah dan beradaptasi dengan
perubahan yang terjadi sejalan dengan perkembangan anak.
Orang tua merupakan
pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak
mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari
pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Keluarga merupakan lingkungan
kehidupan yang dikenal anak untuk pertama kalinya, dan untuk seterusnya anak
banyak belajar didalam kehidupan keluarga. Karena itu peranan orang tua
dianggap paling besar pengaruhnya terhadap terbentuknya kepribadian pada diri
anak. Sikap orang tua tercermin pada pola asuhnya, dimana mempunyai sumbangan
yang cukup besar dalam perkembangan kepribadian anak. salah satunya adalah Self-efficacy.
Pada dasarnya,
perkembangan diri anak dalam hal ini self-efficacy
berawal dari keluarga dan sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan
oleh orang tua yang nantinya berpengaruh untuk kehidupan anak selanjutnya. Dimana terdapat tiga gaya pola asuh orang tua, yaitu gaya pola asuh autoritarian
(authoritarian parenting style), gaya pola asuh yang kedua adalah pola asuh permisif (permisive parenting style) dan gaya pola asuh autoritatif (authoritatif parenting style).
Gaya pola asuh autoritarian (Authoritarian
Parenting Style) dimana pola asuh ini merupakan cara yang membatasi dan
bersifat menghukum sehingga anak harus mengikuti petunjuk orangtua dan
menghormati pekerjaan dan usaha orangtua. Biasanya pola asuh ini memiliki
kontrol yang kuat, sedikit komunikasi, membatasi ruang gerak anak, dan
berorientasi pada hukuman fisik maupun verbal agar anak patuh dan taat. Jadi anak-anak
ini sering sekali tidak bahagia, ketakutan dan cemas dibandingkan dengan anak
lain, gagal memulai suatu kegiatan, menarik diri karena tidak puas diri dan
memiliki ketrampilan komunikasi yang lemah. Dalam pola
asuh ini, tingkat keyakinan diri (self-efficacy)
anak tidak dapat berkembang dengan baik karena orang tua tidak meyetujui dan
menyukai tindakan anak yang mengkritik, memprotes atau membantah aturan yang
telah dibuat oleh orang tua, sehingga anak tidak mempunyai kesempatan
mengeluarkan pendapat, gagasan atau inisiatif apapun tentang apa yang
diinginkannya. Sehingga berakibat anak akan cenderung tumbuh sebagai pribadi
yang pesimis dan mempunyai sikap tidak peduli.
Sedangkan gaya pola asuh
yang ketiga adalah gaya pola asuh autoritatif (authoritatif parenting style). Pola asuh
yang bergaya autoritatif mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan
batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Adanya sikap orang tua yang
hangat dan bersifat membesarkan hati anak dan komunikasi antara dua arah yang
bebas membuat anak semakin sadar dan bertanggung jawab secara sosial. Hal
ini disebabkan karena orang tua dapat merangkul dan mencarikan alasan untuk
solusi di masa depan. Sebenarnya pola asuh ini merupakan gabungan dari kedua
pola asuh yaitu pola asuh autoritarian dan permisif.
Dalam pola asuh autoritatif
ini memandang bahwa kebebasan pribadi untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya
baru bisa tercapai dengan sempurna apabila anak mampu mengontrol dan
mengendalikan diri serta menyesuaikan diri dengan lingkungan baik keluarga dan
masyarakat. Dalam hal ini anak diberi kebebasan namun dituntut untuk mampu mengatur
dan mengendalikan diri serta menyesuaikan diri dan keinginannya dengan tuntutan
lingkungan. Oleh karena itu sebelum anak mampu mengatur dan mengendalikan
dirinya sendiri, maka dalam dirinya perlu ditumbuhkan aturan yang berlaku
dilingkungannya.
Pengontrolan
dalam hal ini, walaupun dalam bentuk apapun hendaknya selalu ditunjukan supaya anak memiliki sikap bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri dan terhadap lingkungan masyarakat. Dengan
demikian anak itu akan memiliki kekuasaan untuk melakukan pilihan dan
keputusan yang bernilai bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya. Dalam hal
ini perlu disadari bahwa kontrol yang ketat harus diimbangi dengan
dorongan kuat yang positif agar individu tidak hanya merasa tertekan tetapi
juga dihargai sebagai pribadi yang bebas.
Menurut (Ormrod,
2008 : 94) orang tua yang menggunakan pola asuh autoritatif (authoritative parenting) menghadirkan
lingkungan ramah yang penuh kasih dan dukngan, memberikan ekspektasi dan
standar tinggi terhadap performa, memberikan penjelasan mengapa suatu perilaku
dapat (atau tidak dapat) diterima, menegakkan aturan-aturan keluarga secara
konsisten, melibatkan anak dalam penambilan keputusan, dan menyediakan
kesempatan-kesempatan anak menikmati kebebasan berperilaku sesuai usianya. Anak
dengan pola asuhan otoritatif termotivasi untuk berprestasi bagus disekolah
dan, sebagai hasilnya, seringkali menjadi peraih prestasi tinggi (high-achievers).
Dilihat bahwa anak
sebagai generasi bangsa yang akan melanjutkan perjuangan dan cita-cita bangsa,
untuk itu anak memerlukan bimbingan, arahan dan didikan dari orang tua sejak
dini, sebagai persiapan untuk menghadapi masa yang akan datang. Dimana dalama
hal ini tingkat self-efficacy yang
dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya tersebut secara
tidak langsung juga dipengaruhi oleh gaya
pola asuh yang diterapkan orang tua. Dalam penelitian Baumrind (dalam Agus
Dariyo, 2007 : 214) ditemukan bahwa pola pengasuhan (parenting style) yang efektif untuk pengembangan kepribadian diri
dalam hal ini menyangkut self-efficacy
anak, ditandai dengan komunikasi dua arah antara orang tua dengan anak-anaknya.
Oleh
karena itu pola pengasuhan demokratis cenderung memberi pengaruh yang lebih baik untuk
pengembangan self-efficacy anak bila
dibandingkan dengan pola pengasuhan permisif atau otoriter.
Berdasarkan
kondisi-kondisi yang terjadi ini maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara pola asuh orang tua dengan self-efficacy pada siswa-siswi
SMUN 62 di Jakarta Timur.
B. Perumusan Masalah dan Pokok Bahasan
1. Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah diatas, maka masalah yang akan dirumuskan sebagai berikut :
“Apakah ada hubungan antara pola asuh orang
tua dengan self-efficacy pada siswa-siswi
SMUN 62 di Jakarta Timur”.
2. Pokok
Bahasan
a. Self-Efficacy adalah penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri
atau tingkat keyakinan mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan
suatu tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu.
b. Pola Asuh Orang Tua adalah adalah
sikap orang tua dalam berhubungan atau berinteraksi dengan anak-anak dalam
kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat melalui cara orang tua mengontrol dan
mengawasi tuntutan terhadap tingkah laku, cara berkomunikasi serta sikap
pemeliharaan orang tua kepada anaknya.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui adanya hubungan antara pola asuh orang tua dengan self-efficacy pada siswa-siswi
SMUN 62 di Jakarta Timur.
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat, sumbangan informasi bagi ilmu pengetahuan dalam ruang
lingkup psikologi perkembangan dan dapat dimanfaatkan untuk referensi
penelitian lebih lanjut terutama yang berkaitan dengan masalah pola asuh orang
tua dan self-efficacy.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan hasil
penelitian ini dapat menjadi masukan yang berguna bagi penyelenggara kegiatan belajar mengajar pada guru khususnya SMAN 62 di Jakarta Timur, bagaimana cara untuk dapat
meningkatkan self-efficacy pada siswa
dan memberi masukan
kepada orang tua
bagaimana pola asuh orang tua yang baik untuk diterapkan kepada anak.
E.
Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penelitian ini adalah :
Bab I, Pendahuluan, dalam bab ini peneliti akan memberikan penjelasan
tentang latar belakang masalah, rumusan masalah dan pokok bahasan, tujuan
penelitian dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II, Tinjauan
Pustaka, dalam bab ini peneliti membahas sejumlah teori yang berhubungan
dengan masalah yang akan diteliti yaitu self-efficacy dan pola asuh orang tua, kerangka berpikir dan
hipotesis.
Bab III, Metode Penelitian, dalam
bab ini diuraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel,
populasi dan sampel metode pengambilan data, metode analisis instrumen dan
metode analisis data.
Bab IV, Laporan Penelitian, dalam bab ini
terdiri dari orientasi kancah, persiapan penelitian,
pelaksanaan penelitian, dan hasil analisis data penelitian.
Bab V, Penutup, akhir bab ini dikemukakan
mengenai pembahasan, kesimpulan, dan saran.
Izin Sedot gan ...
BalasHapussaya tertarik sekali dengan judul yang agan tulis dalam blog-nya ...
saya minta izin isi blog agan untuk menjadi bahan dalam penyusunan skripsi saya dan saya lanjutkan dalam penelitian saya di kota makassar gan ...
kiranya agan memberikan izin ...
makasi gan
BalasHapus