JS

Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 02 Juli 2013

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANG TUA OTORITER DENGAN KECENDERUNGAN EMOTIONAL FOCUSED COPING PADA REMAJA BAB II

BAB  I1

TELAAH PUSTAKA



A.     Emotional  Focused  Coping

1.      Pengertian Coping Behavior  (Perilaku Coping)

Manusia selalu menghadapi masalah baik di dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat. Berbagai permasalahan yang dihadapi remaja tentu akan  mempengaruhi kehidupan pribadinya, remaja yang menghadapi masalah akan mencari jalan keluar dari masalah tersebut agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.

Perubahan  yang  diakibatkan  modernisasi  dalam  kehidupan  masa  remaja, khususnya    remaja  awal  mempunyai  dampak tersendiri.  Mereka  dituntut  untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang lebih rurnit. Sejalan tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui, permasalahan-permasalahan  yang dihadapi, tekanan dan tuntutan dari berbagai pihak maka membutuhkan suatu strategi tindakan yang berusaha untuk mengatasi masalah, yang disebut juga dengan coping behavior atau peri laku coping.
Menurut Lazarus & Folkman  (dalam Smet,  1994)  "Coping is  the process by which people try to manage the perceived discrepan & the demand and resources they appraise in a stressful situation", coping . adalah suatu proses di mana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan  (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful.
Banyak ahli mengemukakan pengertian coping secara berbeda-beda, Smet (1994) mendefinisikan  coping atau strategi mengatasi masalah sebagai cara atau usaha yang dilakukan individu dalam menghadapi situasi yang menimbulkan  ancaman atau tekanan bagi individu. Stole dan Weale (dalam. Miwa, 1999) memberikan definisi coping sebagai perilaku atau pikiran yang disadari untuk mengontrol pengaruh situasi stres dalam hal ini akan membedakan individu mengatasi tuntutan-tuntutan yang dirasa menekan atau  mengganggu. Usaha-usaha yang dilakukan dapat berupa tindakan yang tampak maupun yang tidak tampak dan bertujuan untuk menghadapi masalah. Perilaku coping menggambarkan bagaimana individu mengatasi tunmtan-tuntutan yang dirasa menekan. Santrock (2002) rnengatakan bahwa coping adalah kemarnpuan individu untuk  melakukan sekumpulan reaksi dalam menghadapi dan mengatasi stres atau masalah.
Chaplin (1993) mendefinisikan coping sebagai segala perbuatan untuk tnclakukan interaksi dengan lingkungaln sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan masalah atau tugas. Sedangkan Shin dkk (dalam Istanti, 1996) mendefinisikan bahwa coping adalah usaha untuk mengurangi stres dan tekanan perasaan, tekanan ini bisa terjadi karena pergaulan dan hal-ha1 atau masa1ah-masalah yang tidak terpecahkan yang membuat perasaan tertekan. Menurut Kartono (2002) coping merupakan tindakan yang berhubirngan dengan  lingkiuigan dilakukan dengan cara sembarangan dengan tujuan urituk menyelesaikan berbagai masalah dan tugas yang ada.
Menurut Stone dan Neale (dalam Setyowati, 2003) tingkah laku coping adalah segala usaha mtuk mengatasi suatu situasi baru yang secara potensial dapat mengancarn, menimbulkan frustasi dan tantangai, coping juga merupakan perilaku dan pikiran yang secara sadar digunakan oleh individu untuk mengontrol pengaruh situasi stres yang dialami.
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa coping adalah segala bentuk
Usaha atau cara yang dilakukan secara sadar, untuk mengurangi dan mengatasi permasalahan serta mempertahankan keseimbangan psikologis akibat stress (tekanan-tekanan psikologis) yang timbul, berupa situasi yang sulit dipecahkan, yang dianggap sebagai sesuatu yang merugikan dan menimbulkan frustrasi maupun ancaman, baik yang nyata maupun tidak nyata.
2.    Fungsi Coping
Smet (1994) mengungkapkan bahwa secara umum coping mempunyai 2 macam bentuk, yaitu: Emotional Focused Coping (EFC) dan Problem Focused Coping (PFC). Emotional focused coping digunakan untuk rnengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku individu, seperti penggunaan alkohol, bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan, melalui strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressfull, individu akan cenderung untuk mengatur emosinya. Adapun problem focuscd coping digunakan untuk mengurangi stressor; individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau ketrampilan-ketrampilan yang baru. lndividu akan cenderung menggunakan strategi ini, biladiriya yakin  akan  dapat mengubah situasi. Metode  atau  fungsi masalah  ini lebih sering digunakan oleh para dewasa.
Folkman  (dalam Astuti, 2004) memandang bahwa  coping mempunyai dua
fungsi  utama  yaitu  mengatur  emosi  atau  tekanan,  fungsi  ini  disebut  emotional
focused coping (EFC). Fungsi kedua bersifat mengatur masalah yang menyebabkan tekanan atau disebut problem focused coping (PFC ). Antara problem focused coping dan emotional focused coping berbeda dalam  hak cara penggunaan dalam  menghadapai stress, bila emstiorlal focused coping lebih diarahkan pada pengontrolan terhadap emosi yang tidak menyenangkan, sedangkan problem focused coping digunakan untuk mengontrol hubungan antara individu dan lingkungan melalui pemecahan masalah, pembuatan keputusan maupun dengan menggunakan tindakan langsung.
Coping sebagai suatu proses memiliki berbagai rintangan baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Rintangan-rintangan yang berasal dari luar berupa dukungan sosial, tekanan kehidupan sehari-hari, dan rintangan-rintangan yang lain menimbulkan respon dalam pemilihan bentuk penyelesaian masalah dan pengaturan emosi. Hal tersebut muncul tentu  saja bukan berasal dari pengaruh rintangan dari luar saja melainkan rintangan yang berasal dari dalam misalnya faktor kepribadian juga ikut memberikan sumbangan dalam penyelesaian  masalah dan pengaturan emosi. Untuk lebih jelasnya uraian diatas dapat dituang dalam skema atau gambar sebagai berikut:



















Problem  focused coping  pada dasarnya  mengarah pada beberapa tujuan.
Nlenurut Lazarus & Folkman (dalam Setyowati, 2003) tujuan dari PFC yang dilakukan adalah:
a    Mengurangi hal-hal yang membahayakan dari situasi dan kondisi lingkungan serta meningkatkan kemungkinan untuk pulih.
b.   Menyesuaikan diri dari kejadian negatif yang dijumpai dalam  kehidupan nyata.
c.   Mempertahankan citra diri yang positif.
d.   Mempertahankan keseimbangan emosional.
e.   Meneruskan hubungan yang menyenangkan dengan orang lain.
3.   Bentuk-bentuk Coping
Taylor (1991) mengklasifikasikan coping menjadi dua bagian yaitu :
approach coping dan  avoidance coping. Approach coping yang juga disebut problem focused coping memiliki sifat analisis logis, mencari informasi dan berusaha untuk memecahkan masalah dengan penyesuaian yang positif.
Avoidance coping yang juga disebut emotional focused coping mempunyai cirri represi, proyeksi, pengingkaran dan berbagai cara untuk meminimalkan ancarnan.
Problem focused coping yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (dalam Miwa, 1999) yaitu usaha unluk mengurangi dan menghilangkan stress dengan cara menghadapi penyebab timbulnya masalah secara langsung. Usaha-usaha yang dilakukan pada problem .focused coping lebih ditekankan dalam bentuk-bentuk strategi yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah. Strategi ini lebih menekankan pada kognitif dan bersifat konstruktif.
Menurut Aldwin dan Revension (dalarn Setyowati, 2003) ada tiga bentukPFC yaitu; (a) cautiousness (kehati-hatian), individu memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin ada, bersikap lebih hati-hati dalam memutuskan sesuatu, (b) instrument action, meliputi usaha yang ditujukan untuk menyeleaikan masalah secara langsung, serta menyusun rencana langkah-langkah apa yang perlu dilakukan, dan (c) negotiation, meliputi usaha-usaha yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau menjadi penyebab masalah yang dihadapinya untuk diajak menyelesaikan masalah.
4.   Emotional Focused Coping (EFC)
Emotional focused coping merupakan sumber dari masalah yang hams ditoleransi keberadaannya dengan cara mengatur tekanan, emosi dan mempertahankan keseimbangan afeksi, coping ini menggunakan emotional manner, khususnya menggunakan pertahanan (defensive appraisal). Strategi ini bila digunakan kurang efektif karena hanya bersifat sementara. Problem focused coping (PFC) merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi atau menghilangkan stress yang dialaminya dengan cara menghadapi masalah yang menjadi penyebab timbulnya stress secara langsung.
Problem focused coping orientasinya adalah pemecahan masalah dun Emotional Focused Coping (EFC) berorientasi pada pengelolaan emosi. EFC merupakan strategi yang difakukan individu dalam melakukan usaha untuk mengurangi atau menghilangkan stress yang dirasakannya dengan cara berusaha menyeimbangkan efeksinya, Folkman (dalam, Patnani 1999) menambahkan bahwa individu yang menggunakan EFC melakukan usaha-usaha untuk mengurangi stress emosional yang ditimbulkan oleh stressor dengan mengandalkan emosi yang mencakup pengaturan afeksi.
Menurut Aldwin dan Revenson (dalam Setyowati, 2003) ada empat macam strategi emotional focused coping yaitu:
a.       Escapism (pelarian dari masalah)
Individu menghindari masalah yang ada dengan berkhayal seandainya berada pada saat lain yang lebih menyenangkan, menghindarii memikirkan masalah dan melarikan diri dari situassi stres yang dihadapi dengan makan atau tidur lebih banyak.
b.       Minimization (pengurangan beban masalah)
Individu berusaha secara sadar mengurangi masalah yang ada dengan menganggapnya seolah-olah tidak ada. Strategi ini berbeda dengan penyangkalan
pada ego defence mechanism, karena strategi ini tidak membawa akibat yang buruk. Individu yang menggunakan strategi ini mempunyai kemampuan dalam mengendalikan nafsunya.
c.   Selfblame (penyalahan diri sendiri)
Individu cenderung menyalahkan dan menghukum diri sendiri serta menyesali apa yang terjadi. Dalam strategi ini memiliki sifat pasif yang lebih diarahkan pada dirinya sendiri, dari pada usaha untuk keluar dari masalah yang akhirnya  mengarahkan pada perasaan untuk menghukum diri dan menyesali terhadap apa yang sudah terjadi.
d.   Seeking meaning (pencarian arti)
Individu berusaha mencari arti kegagalan yang dialami pada dirinya dan melihat segi-segi yang lebih penting dalam hidupnya dan terus mencoba menemukan jawaban dari masalah yang sedang dihadapi melalui kepercayaan yang diyakini.
5.   Faktor-faktor yang mempengaruhi Emotional Focused Coping (EPC) pada remaja
Ernawati (2003) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi emotional focused coping di pengaruhi oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal.
a.   Faktor Internal
1)   Psikologis
Keadaan psikologis scseorang yang menyebabkan ia dapat menyesuaikan diri dcngun lingkungannya (Suyanto dkk, 2001).
2)   Jenis kelamin
Penelitian Widianti (2001) perempuan cenderung menggunakan strategi menghadapi masalah dengan orientasi pada emosi sedangkan laki-laki dalam menghadapi masalah leblh realistis dan efektif atau langsung pada permasalahan bukan pada diri atau ego.
3)   Usia
Menurut Hurlock (1994) masa dewasa merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru.
Penyesuaian diri yang baik akan membentuk konsep diri yang realistis dan stabil.
Sedangkan individu yang mempunyai penyesuaian diri yang buruk akan mempunyai konsep diri yang tidak realistik dan tidak stabil. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyesuain diri berpengamh terhadap keberhasilan coping.
4)   Pengalaman
Hall dan Linzey, (1993) menyatakan bahwa orang yang berfungsi sepenuhnya meliputi sifat-sifat seperti keterbukaan terhadap pengalaman, tidak ada sifat defensif, kesadaran yang cermat, penghargaan diri tanpa syarat dan hubungan yang harmonis dengan orang lain, hal ini memberikan pengetahuan bahwa pengalaman dibentuk berdasar yang realistis. Hal tersebut membuktikan bahwa pengalaman dapat mempengaruhi seseorang dalam memilih cara menghadapi setiap permasalahan.
5)   Agama
Pesoalan hidup yang semakin komplek akan melahirkan ketidakseimbangan antara kemarnpuan iptek dan rohani, kegoncangan batin tersebut akan mempengaruhi kehidupan psikologis manusia. Pada kondisi ini manusia akan mencari penenteraman batin antara lain agama (Jallaludin, 2002).
Hal tersebut mengindikasikan bahwa agama merupakan salah satu faktor dalam
menyelesaikan masalah.
6)   Fisiologis
Calson (dalam Wahyono, 2001) mengemukakan bahwa sistern limbik merupakan serangkaian hubungan internal dari struktur otak yang berbentuk sirkuit dan mempunyai fungsi utama dalam motifasi dari emosi. Bagian yang berperan utama dalam sistem limbik adalah cortex, hippocampus dan amigdala.
Manusia yang mempunyai sistem limbik baik akan bertindak efektif dalam menghadapi setiap perrnasalahan yang muncul.
b.   Faktor Eksternal
1)   Keluarga
Menurut Jallaludin (2002) keluarga merupakan satuan unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga menurut para pendidik merupakan lapisan pendidikan. Pola
pendidikan dan perilaku dalam keluarga dapat mempengaruhi seseorang dalam memilih cara penyelesaian masalah.
2)   Teman sebaya
Menurut Hurlock (1994) sebagaimana pada setiap tahap usia, orang dewasa muda juga memilih teman-teman mereka berdasarkan kecocokan, dengan teman yang mempunyai kepentingan dan nilai yang sama individu lebih terbuka dalam berbagai ha1 seperti minat, masalah dan aspirasi.
3)   Budaya Setempat
Kebudayaan adalah suatu kumpulan yang berintegrasi dari cara-cara yang berlaku yang dimiliki bersama dan kebudayaan secara utuh mencapai penyesuaian kepada lingkungan tertentu. Sujarva (dalam Setyowati, 2003) interaksi dengan lingkungan berpengaruh terhadap cara ind ividu dalam mensikapi masalah. Pada masyarakat modern ini masih banyak ditemukan sikap kesewenangan dan tindak kekerasan, dan selama masih banyak anak-anak dan orang muda yang di campakkan atau diabaikan secara efektif, maka selarna itu akan bertarnbah banyak jurnlah orang-orang muda yang kebingungan menghadapi masalahnya lalu kecanduan obat-obat bius, Kartono, (2002).
4)   Kondisi Permasalahan atau Situasi
Setiap orang memandang suatu masalah dengan sudut pandang yang berbeda. Problem focused coping digunakan apabila permasalahan dinilai mudah dan emotional focused coping digunakan bila situasi perrnasalahan dianggap sulit, Folkman (dalam Setyowati, 2003). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemilihan
strategi coping tergantung pada kondisi permasalahan yang ada.
5)   Tingkat Pendidikan
Yeni (dalam Widiyanti, 2001) mengatakan bahwa adanya tingkat pendidikan mampu menjadikan seseorang lebih cepat dalam mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktop-faktor yang mempengaruhi emotional focused coping berasal dari faktor internal dan factor eksternal. Faktor-faktor internal meliputi faktor psikologis, jenis keilamin, usia, pengalaman, agama, dan fisiologis. Adapun faktor ekstemal meliputi fdctor keluarga, teman sebaya, budaya setempat, dan kondisi perrnasalahan dan situasi.
Teori yang akan digunakan sebagai landascan yenelitian adalah teori dari Aldwin dan Revenson (dalam Setyowati, 2003) mengenai kecenderungan penggunaaan strategi emotional focused coping.
B.  Persepsi Terhadap Pola Asuh Orang Tua Otoriter
1.   Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan faktor yang menentukan terbentuknya sikap atau perilaku individu. Tingkah laku dan penyesuaian diri ditentukan oleh factor persepsi. Persepsi adalah tanggapan individu yang diawali oleh penginderaan, pengorganisasian, pengintegrasian dan penginterpretasian secara terpadu yang bersifat individual terhadap stimulus yang diterima oleh panca indera (Walgito, 2002).
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan.
Penginderaan adalah merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu
melalui alat penerima yaitu alat indera. Namun proses tersebut tidak berhenti di situ saja, pada umurnnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan, dan proses penginderaan merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. Proses penginderaan terjadi setiap saat, yaitu pada waktu individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya, Branca (dalam Walgito, 2002)
Stimulus yang mengenai individu itu kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya itu.
Proses inilah yang dimaksud dengan persepsi. Jadi stimulus ditehma oleh alat indera, kemudian melalui proses persepsi sesuatu yang diindera tersebut rnenjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterpretasikan, juga bersifat individual, Davidoff (dalam Walgito, 2002). Di samping itu menurut Moskowitz dan Orgel (dalam Walgito, 2002) persepsi itu marupakan proses yang integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya.
Persepsi didefinisikan sebagai proses yang mengorganisir dan menggabungkan data-data indera kita (penginderaan) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat menyadari sekeliling kita termasuk sadar akan diri sendiri (Davidoff, 1998). Menurut pendapat di atas jelas bahwa persepsi bukan hanya proses mengorganisir dan menggabunglcan data-data yang kita kumpulkan dari penginderaan tetapi juga untuk sadar dan menyadari diri sendiri dan lingkungan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi itu merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan nierupakan aktivitas yang intergrated dalam diri individu. Karena merupakan aktivitas yang intergrated, maka seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu.
2.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Desirato (dalam Rakhmat, 1994) mengemukakan persepsi adalah pengalaman tentang objek peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan  menafsirkan pesan. Persepsi adalah memberikan makna pada stimuli indcrawi. Hubungan sensori dan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi, walaupun begitu menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi, ekspektasi motivasi dan memori.
Menurut Kartono (2002) persepsi merupakan pengamatan secara global belum ada kesadaran subjek dm objeknya belum dapat dibedakan secara jelas antara satu dengan yang lain. Persepsi seseorang tidak bersifat tetap melainkan berkembang sesuai dengan pengalaman yang di.peroleh dari proses interaksi.
Santrock (2002) persepsi ialah interpretasi tentang apa yang diinderakan atau dirasakan, informasi tentang peristiwa-peristiwa tertentu yang mengadakan kontak dengan telinga diinterpretasikan sebagai suara, sementara peristiwa lain yang ditransforrnasikan ke dalam retina diinterpretasikan sebagai suatu warna, pola, atau bentuk khusus.
Dengan persepsi individu dapat menyadari, dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya, dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan, Davidoff (dalam Walgito, 2002). Dalarn persepsi stimulus dapat datang dari luar individu, tetapi juga dapat datang dari dalam individu yang bersangkutan.
Mempersepsi seseorang, individu yang dipersepsi itu mempunyai kemampuan-kemarnpuan, perasaan, harapan, walaupun kadarnya berbeda seperti halnya pada individu yang mempersepsi. Orang yang dipersepsi dapat berbuat sesuatu terhadap orang yang mempersepsi, sehingga kadang-kadang atau justru sering hasil persepsi tidak sesuai dengan keadaan yang sebenamya. Orang yang dipersepsi dapat menjadi teman, namun sebaliknya dapat juga menjadi lawan dari individu yang mempersepsi, Tagiuri dan Petrullo (dalam 'Walgito, 2002).
Pikiran, perasaan, kerangka acuan, pengalaman-pengalaman, atau dengan kata lain keadaan pribadi orang yang memperscpsi akan berpengaruh dalam seseorang mempersepsi orang lain. Hal tersebut disebabkan karena persepsi merupakan aktivitas yang intergrated, Moskwitz dan Orgel (dalam Walgito, 2002).
Bila orang yang dipersepsi atas dasar pengalaman inerupakan seseorang yang menyenangkan bagi orang yang mempersepsi, akan lain hasil persepsinya bila orang yang dipersepsi itu memberikan pengalaman yang sebaliknya demikian pula dengan aspek-aspek lain yang terdrapat dalan diri orang yang mempersepsi. .
Berdasarkan atas ha1 tersebut, dapat dikemukakan bahwa dalam persepsi itu sekalipun stimulusnya sama, tetapi karena pengalaman tidak sama, kemampuan berpikir tidak sarna, kerangka acuan tidak sama, adanya kemungkinan hasil persepsi antara individu satu dengan individu yang lain tidak sama. Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa persepsi itu memang bersifat individual, Davidoff (dalam W algito, 2002).
Menurut Robbins (2001) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah:
a. Pihak pelaku persepsi (perceiver)
Seorang individu memandang pada suatu objek dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individu itu. Karakteristik pribadi yang lebih relevan mempengaruhi persepsi diantaranya adalah sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman masa lalu, dan pengharapan
b. Objek atau target yang dipersepsikan
Karakteristik-karakteristik dari target yang diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Gerakan, bunyi, ukuran dan atribut-atribut lain dari target membentuk cara kita memandangnya. Karena target tidak dipandang dalarn keadaan terisolasi, hubungan target dengan latar belakangnya mempengaruhi persepsi.
c. Situasi
Pentingnya bagi kita melihat konteks objek atau peristiwa, imsur-unsur  lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi kita. Situasi mempengaruhi persepsi kita. Waktu dimana suatu objek atau peristiwa itu dilihat dapat mempengaruhi perhatian, seperti juga lokasi, cahaya, panas atau setiap jurnlah faktor situasional.
Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi stimulus juga akan berpengaruh dalarn persepsi, lebih-lebih bila objek persepsi adalah manusia.
Objek dan lingkungan yang melatarbelakangi objek merupakan kebulatan atau  kesatuan yang sulit dipisahkm. Ada beberap hal yang dupat ikut berperan dan dapat berpengaruh dalarn mempersepsi manusia, yaitu; (a) pihak pelaku persepsi berupa karakteristik pribadi yang akan mempengaruhi persepsi diantaranya adalah sikap, minat, pengalaman masa lalu juga pengharapan, (b) objek atau target yang dipersepsikan, yang akan mempengaruhi apa yang dipersepsi, pengaruh juga dapat timbul dari perpaduan antara objek persepsi dengan latar belakangnya, dan (c) situasi yaitu objek seperti cahaya, peristiwa, lokasi dan peristiwa lain juga dapat mempengaruhi perhatian kita.
3.   Pengertian Pola Asuh Orangtua
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut mempengaruhi dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalarn pembentukan kepribadian adalah praktek pengasuhan anak.
Pola asuh orangtua merupakan perlakuan yang diberikan orangtua terhadap individu dari masa kanak-kanak sampai menjelang dewasa. Perlakuan yang diberikan orangtua terhadap individu berupa pemberian nasehat dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat, kornunikasi dengan anak dengan cara mengungkapkan kritikan dan pujian.
Hurlock (1993) mengatakan pola asuh orangtua adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orangtua terhadap anaknya. Metode disiplin ini mengacu pada dua konsep yaitu konsep positif dan konsep negatif. Konsep positif menjelaskan bahwa disiplin merupakan pendidikan dan bimbingan yang lebih menekankan pada disiplin diri dan pengendalian diri, sedangkan konsep negative memandang disiplin sebagai pengendalian dengan kekuasaan keras, yang biasanya diterapkan secara sembarangan. Hal ini merupakan suatu pengekangan  melalui cara yang tidak disukai dan menyakitkan.
Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah merupakan perlakuan yang diberikan orangtua terhadap individu berupa pemberian nasehat dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat, dan komunikasi yang berisi metode disiplin yang mengarah pada dua konsep, konsep negatif dan positif. Konsep negatif berarti disiplin dengan pengendalian dengan kekuasaan keras, yang diterapkan secara sembarangan, dan konsep positif menekankan pada disiplin diri dan pengendalian. Pola asuh diberikan orangtua dari masa kanak-kanak sampai menjelang dewasa yang akan memunculkan kritikan dan pujian.
4.      Bentuk-bentuk Pola Asuh Orangtua
Pengasuhan orangtua mernpunyai tipe atau pola asuh bervariasi sesuai dengan latar belakang budaya (bangsa, suku dan kebiasaan). Perbedaan-perbedaan tersebut tercermin dalarn cara mengungkapkan perasaan dan pikiran kepada anakanak.
Menurut Baurnrind (Soekadji, 1994) ada tiga tipe pola asuh orangtua yaitu cruthoritarian (otoriter), permissive (permisif) dan authoritative (demokratis).
a.       Pola asuh authoritarian (Otoriter)
Pola asuh otoriter menerapkan d,isiplin yang kaku dan keras, dalam menerapkan disiplin dalam menggunakan hukuman fisik dan ancaman orang tua juga memberikan hukuman dengan cara menghindarkan afeksi dari anak dalam waktu tertentu, menjauhi anak atau tidak mau berbicara dengan mereka, HoIfinan (dalm Stenberg dkk, 1991). Menurut Mussen (1994) orangtua dengan pola asuh otoriter menerapkan kekuasaan orangtua, disiplin yang kaku, kurmg hangat dan kurang mengasuh terhadap anak. Pola asuh ini menggunakan pengawasan sepenuhnya, anak tidak didorong untuk mengemukakan pendapat tentang peraturan yang diterapkan orangtua.
Menurut Cole (Harini, 1998) orangtua yang otoriter menganggap seinua keinginan dan kemauan anak harus diatur orangtua. Radke (Harini, 1998) menyatakan bahwa pola asuh ini, semua peraturan dan aktifitas anak ditentukan oleh orangtua yang secara langsung juga mengontrol anak. Orangtua berkuasa penuh terhadap anak dan anak tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan perasaan-perasaamya serta keinginan-keinginannya.
Pola asuh otoriter menurut Soetjipto (1989) adalah pola asuh di mana orangtua tidak memberikan kesempatan sama sekali pada anak untuk menyampaikan dan melaksanakan keinginannya, segala sesuatu yang dilakukan anak harus diatur orangtuanya. Jadi komunikasi lebih bersifat dari orangtua ke anak. Anak seolah-olah bagaikan robot yang harus diperintah majikan.
Menurut Soetjipto (1989) ada beberapa ciri-ciri pola asuh otoriter orangtua yaitu:
1)   Sikap orangtua yang kaku.
2)   Menerapkm disiplin yang keras.
3)   Orangtua selalu menuntut kepatuhan sehingga anak tidak bebas berbuat sesuai dengan keinginan dan kemauannya.
4)   Bila anak melanggar peraturan akan mendapatkan hukuman fisik atau psikis.
5)   Kepatuhan anak dan prestasi yang dicapainya jarang atau tidak pernah dihargai oleh orangtua.
6)   Orangtua selalu mengontrol dan kurang niembcrikan kepercayaan kepada anaknya walaupun anak sudah dewasa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter adalah pola asuh yang diterapkan orangtua dengan memberikan pengawasan yang kaku, orangtua kurang hangat, menerapkan disiplin yang kaku dan tidak mau menjelaskan tentang peraturan-peraturan yang diterapkan.
b.   Pola asuh Permissive (Permisif)
Orangtua memiliki sedikit tuntutan, tidak menghukum, tidak mengarahkan perilaku anak, tidak memberi penjelasan, cenderung menerima dan memuaskan keinginan anak. Nampaknya mereka hadir untuk dirinya sendiri dan bukannya scbagai pusat yang bertanggung jawab, membentuk dan merubah pcrilaku anak serta tidak memberikan latihan kontrol diri pada anak.
Menurut Baurnrind (Sukadji, 1994) pola asuh permisif mengutamakan kebebasan anak sepenuhnya uiituk mengungkapkan keinginan dan kemauannya.
Anak bebas memilih bahkan orangtua mengikuti pilihan anak. Anak dipandang
secara alami memiliki bekal untuk inengurus dan mengatur dirinya sendiri.
Baumrind (Erwin, 1993) juga menyatakan pola asuh ini sebagai akibat dari orangtua yang memanjaltan anak, sehingga pola asuh ini ditandai dengan tidak ada pengawasan, tidak ada tuntutan dan orangtua relatif hangat. Pola asuh permisif menerima dan responsif terhadap anak, namun sedikit melakukan pengawasan dan pembatasan tentang sikap dan tingkah laku anak.
Steinberg dkk (1991) menyatakan pola asuh permisif pada urnumnya tidak ada pengawasan orangtua , dengan pola asuh ini memberikan sedikit tuntutan dan menekan sedikit disiplin. Anak-anak dengan pola asuh permisif dibiarkan mengatur tingkah laku mereka sendiri dan membuat keputusan sendiri.
Selanjutnya Mussen (1994) menyaiakan pola asuh permisif bersikap serba bebas
(membolehkan) tanpa kendali, tidak menuntut dan hangat. Pola asuh ini lemah dalam mendisiplinkan tingkah laku anak, melalui pola asuh ini orangtua hanya sedikit memberi perhatian dalam rnelatih kemandirian atau autonomi.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh permisif adalah pola asuh yang tidak memberikan pengawasan dan pengarahan pada tingkah laku anak. Orangtua bersikap hangat namun lemah dalam disiplin dan tidak melatih kemandirian anak.
c.   Pola asuh authoritative (demokratis)
Pola asuh ini orangtua berusaha mengarahkan aktifitas anak secara rasional, memberikan informasi dan penjelasan tentang dasar kebijaksanaan atau keputusan yang diambilnya serta mempertimbangkan implikasinya dalam jangka panjang. Corak hubungan antara orangtua dan anak bersifat memberi dan menerima, karena orangtua memberikan kebebasan pada anak untuk berinisiatif mengambil tindakan sendiri, meskipun tetap menuntut tanggungjawab pada anak, serta mendorong anak untuk mandiri, mengontrol tindakan sendiri dan juga melatih anak untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan atau tindakan.
Menurut Baumrind (dalam Sukadji, 1994) pola asuh demokratis berasumsi bahwa kebebasan pribadi untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan, baru bisa tercapai  dengan baik bila individu mampu mengontrol dan mengendalikan diri serta menyesuaikan diri dengan lingkungan baik keluarga maupun masyarakat.
Selanjutnya Baumrind (dalam Erwin, 1993) menyatakan bahwa dalam pola asuh
demokratis orangtua bersifat fleksibel, responsif dan merawat. Pola asuh ini melakukan pengawasan dan tuntutan. tetapi orangtua juga hangat, rasional dan mau berkommikasi dengan anak. Pola asuh autoritatif memberikan kebebasan  pada anak tetapi dalam peraturan yang menjadi acuan batasan-batasan tentang disiplin dijelaskan, boleh ditanyakan dan dapat dirundingkan dengan anak.
Steinberg dkk (1991) menyatakan dalam disiplin orangtua demokratis menjelaskan aturan dan menjelaskan mengapa mereka menuntut anak bertingkah laku tertentu, disiplin ini disebut induction. Tipe ini efektif dalam waktu yang lama.
Mussen (1994) juga menyatakan orangtua dengan pola asuh demokratis bersikap hangat, penuh kasih, memberi dukungan dan dapat berkomunikasi dengan anak. Pola asuh demokratis menghargai otonomi dan kemandirian anak.
Menurut Baurnrind (Mussen, 1994) Pola asuh demokratis mempunyai tanggung jawab sosial, yaitu  bersikap ramah, kooperatif dan berorientasi pada prestasi serta mandiri yaitu sikap dominan, memiliki tujuan, tegas dan berorientasi pada prestasi.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan pola asuh demokratis adalah pola asuh yang diterapkan orangtua yarlg memberikan pengawasan yang tidak kaku, orangtua yang hangat, komunikasi yang bersifat dua arah, disiplin yang diterapkan dapat dirundingkan dan mendorong autonomi anak.
5.   Pengertian I'ola Asuh Orangtua Otoriter
Orangtua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah mengasuh  putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orangtua dipengaruhi budaya dan lingkungannya. Disamping itu orangtua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya.
Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbedabeda,
salah satunya pola asuh orangtua otoriter.
Maccoby & Martin (dalam Berndt, 1992) menyebutkan ada dua dimensi dalam pola asuh orangtua yang otoriter yaitu kontrol yang ketat disini adalah orangtua yang cenderung mengontrol anaknya melalui peraturan-peraturan yang ketat dan tidak dapat dinegosiasikan oleh anak. Jika anak membantah atau berperilaku yang tidak sesuai dengan keinginan orangtua maka hukuman akan diberikan. Orangtua tidak memberikan kesempatan pada anaknya untuk mengemukakan pendapatnya dan mernbebaskan anak melakukan sesuatu sesuai keinginannya.
Sukemi dan Warsito (dalam Timomor, 1998) membcrikan pengertim tentang pola asuh otoriter adalah pola asuh orangtua yang ingin menguasai rumah tangga termasuk anaknya. Segala tindakan dan perbuatannya kelihatan keras dan segala perintahnya harus dianut, anak. tidak diberi kesempatan untuk membela pendapat-pendapatnys.
Pola asuh orangha otoriter memaksa anak untuk bertingkah laku seperti yang diinginkan, sehingga kebebasan anak sangat terbatas. Bila tidak mematuhinya sering memberikan hukuman, orangtua membentuk, mengontrol tingkah laku anak sesuai standar yang ia tetapkan. Orangtua juga tidak memberikan kesempatan pada anak remajanya untuk berkembang mengatasi masalah dan memutuskan apa yang terbaik untuk diri mereka sendiri.
Remaja dalam dunia interpersonalnya merasakan bahwa keotoriteran orangtua merupakan ancaman yang menimbulkan ketakutan, seperti yang dinyatakan Davidz (dalarn Hurlock, 1994), bahwa hukuman dan penolakan menimbulkan ketakutan, ketakutan menyebabkan reaksi defensif dan reaksi defensif menimbulkan hukuman lain.
Menurut Santrock (2002) Pengasuhan yang otoriter ialah suatu gaya membatasi dan menghuknm yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan lnenghormati pekerjaan dan usaha, orang tua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah).
Menurut Martaniah (dalam Tarmudji, 2004) orangtua yang otoriter amat berkuasa terhadap anak, memegang kekuasan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada perintah-perintahnya, dengan berbagai cara, segala tingkah laku anak dikontrol dengail ketat. Sementara itu, menurut Barnadib (dalam Tarmudji, 2004) dikatakan bahwa orangtua yang otoriter tidak memberi hak anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya.
Menurut Baumrind (dalam Sukadji, 1994) menyatakan pola asuh otoriter menurut kepatuhan dan ketaatan anak terhadap aturan ymg ditenkkan. Untuk mendapatkan kepatuhan ini orangtua menggunakan perlakuan keras terhadap anak. Istilah ini diperhalus dengan kata "disiplin yang tegas" kontrol, pengekangan dan pengendalian yang ketat dilakukan terhadap keinginan dan kemauan anak. Baumrind (dalam Erwin, 1993) juga menyatakan pola asuh otoriter ditandai dengan detached dan kontrol yang kurang hangat dari orangtua.
Orangtua menerapkan peraturan-peraturan yang tidak dapat dirundingkan dan
melanggar peraturan-peraturan tersebut biasanya akan dihukum. Bahkan hukuman
fisik pun dilakukan untuk mendapatkarl kepatuhan. Dalam tipe pola asuh ini,
segala keputusan mutlak berada ditangan orangtua dan anak tinggal mematuhinya
sebagai sesuatu yang benar. Dengan demikian corak hubungan orangtua dengan
anak sifatnya tidak saling memberi dan menerima.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua otoriter adalah kombinasi dari tingkat dimensi kehangatan yang rendah dan dimensi kontrol yang tinggi. Hal ini berupa cara-cara orangtua dalam mendidik anak dengan memberikan  peraturan yang kaku, tidak dapat dincgosiasikan, tidak ada pembicaraan dua arah, batasan yang diberikan selalu tegas, dan menuntut kepatuhan pada anak, serta adanya pemberian hukurnan jika peri laku anak tidak sesuai dengan keinginan orangtua.
6.   Ciri-ciri Pola Asuh Orangtua Otoriter
Menurut Stewart dan Koch (dalam Tarmudji, 2004), orangtua yang  menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut; kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik. Orangtua memaksa anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah  lakunya scrta ceilderung inengekang keinginan anak.
Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri
dan jarang memberikan  pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jxwab
seperti anak dewasa.
Menurut Hurlock (1993) pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri :
a.   Sedikit atau tidak ada usaha untuk menerangkan pada remaja alasan dari semua aturan-aturan.
b.   Pelanggaran aturan pasti dilakukan secara sengaja dan remaja tidak diberi kesempatan untuk menjelaskannya.
c.   Hukuman yang diberikan bcrupa hukuman fisik.
d.   Tidak ada hadiah atau penghargaan untuk perilaku yang sesuai aturan.
Sifat otoriter juga dikatakan sebagai bentuk pembalasan terhadap apa yang telah didapatkan pada waktu kecil. Sasarannya adalah kepada mereka yang lebih lemah, misalnya orangtua kepada anaknya. Bila pengalaman yang tidak menyenangkan dan konflik yang dialami tidak dapat dipecahlcan maka pengalaman tersebut akan membangun karakteristik otoriter, Faturrohman (dalarn Timomor, 1998).
Hasil yang ditemukan oleh Letvin dkk tersebut diteruskan oleh Meuler (dalam Sukadji, 2004) dalam penelitiannya dengan menemukan hasil bahwa anakanak
yang diasuh oleh orang tua yang otoriter banyak menunjukkkan ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerah segala-galanya pada pengasuhnya. Watson (dalam Sukadji, 2004), menemukan bahwa disamping sikap menunggu itu terdapat juga ciri-ciri keagreasifan, kecemasan dan mudah putus asa. Dalam penelitian Walters (dalam Tarmudji, 2004) ditemukan bahwa orangtua yang otoriter cenderung memberi hukuman terutama hukuman fisik.
Baldin (dalam Sukadji, 2004) menemukan dalam penelitiannya dengan membandingkan keluarga yang berpola demokratis dengan yang otoriter dalam merigasuh anaknya, bahwa asuhan dari orang tua demokratis menimbulkan cirri-ciri berinisiatif, berani, lebih giat, dan lebih bertujuan. Sebaliknya, seinakin otoriter orang tuanya makin berkurang ketidaktaatan anak, bersikap menunggu, tak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan ciri-ciri takut.
Dari berbagai ciri yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua otoriter memililci ciri-ciri, kaku, tegas, suka menghulcum dengan hukurnan fisik, kurang ada kasih sayang, memaksa anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, dan mengekang keinginan anak. Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri, jarang memberikan pujian, hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa. Orangtua tidak ada usaha untuk menerangkan pada remaja alasan dari semua aturan-aturan, tidak ada hadiah atau penghargaan untuk perilaku yang sesuai aturan, dan seorang anak remaja akan bersikap menunggu, tak dapat merencanakan sesuatu, cemas mudah  putus asa, daya tahan kurang, dan memunculkan sifat keagresifan.
7.   Aspek-aspek Pola Asuh Orangtua Otoriter
Menurut Timomor (1998) pola asuh orangtua otoriter memiliki beberapa aspek yaitu:
a.       Komunikasi yang searah.
Komunikasi ini mencangkup kesempatan untuk mengemukakan pendapat, keinginan, keluh kesah serta sempat berdiskusi atau dialog. Pola asuh otoriter
biasanya jarang menerapkan  komunikasi seperti ini, orang tua tidak memberikan
kesempatan pada anak untuk mengungkapkan keluh kesah, keinginan atau
pendapatnya.
b.   Penerapan disiplin yang kaku
Penerapan disiplin yang diterapkan adalah berupa control nilai-nilai dan aturan yang diterapkan dalam keluarga. Pola asuh otoriter sangat keras dalam mengontrol atau menerapkan aturan bahkan sering diikuti hukuman.
c.   Pemenuhan kebutuhan yang kurang
Pemenuhan kebutuhan fisik seperti sarana untuk melakukan aktivitas dan kebutuhan berupa  perhatian dan kasih sayang. Pemenuhan kebutuhan anak dalam pola asuh otoriter jarang dilakukan karena kekuasaan berada di tangan orangtua
8.   Persepsi tcrhadap pola asuh orangtua otoriter
Keluarga merupakan kesatuan kesatuan terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan kehidupan seseorang. Remaja dapat belajar menyatakan diri sebagai makhluk sosial dalarn berinteraksi dengan orang lain di dalam keluarga, sehingga perlu diciptakan keluarga yang kondusif yang mendukung bagi perkembangan anak (Gerungan, 1991)
Pola asuh yang di berikan orang tua akan mempengaruhi interaksi dalam keluarga. Penilaian remaja dipengaruhi oleh persepsi sehingga menimbulkan perilaku atau tindakan remaja baik yang bersifat positif maupun negatif. Persepsi yang positif dapat menghasilkan tindakan yang positif sedangkan persepsi yang negatif akan. menghasilkan tindakan yang negatif (Kartono, 1990)
Penelitian Indriastuti (dalam Timomor, 1998) menyimpulkan bahwa remaja yang orang tuanya cenderung otoriter menyerahkan segala sesuatu pada orang lain. Selain ciri yang pasif terdapat ciri-ciri agresif, kecemasan dan perasaan mudah putus asa. Hal ini membuat remaja selalu tergantung pada pertolongan orang lain.
C. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Asuh Orangtua Otoriter Dengsan Kecenderungan Emotional Focused Coping Pada Remaja
Remaja dalam membentuk pergaulan d:m penghargaan terhadap posisi dan kedudukan remaja dalam keluarga, persepsi meinpunyai pengaruh penting dalam mensikapi pola asuh yang diberikan orangtua mereka. Persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua membatasi pergaulan reinaja sehingga akan membentuk kebiasaan untuk cenderung berfikir pada pola tertentu atau melihat masalah hanya dari sudut pandang tertentu yang alcan menghambat  bentuk pemilihan pemecahan masalah yang realistis.
Pola asuh otoriter orangtua memberikan  persepsi bahwa komunikasi yang tejalin antara anak dan orangtua terutama dalam mengemukakan pendapat, keinginan, keluh kesah, berdiskusi dan berdialog sangatlah sedikit, komunikasi jarang dilakukan dan orangtua jarang memberikan  kesempatan pada anak untuk mengungkapkannya. Kondisi ini rnengakibatkan remaja memiliki daya fikir yang pesirnis, sulit menerima perubahan baru, tidak dapat mengekspresikan dorongan emosi yang ada dalam dirinya, cenderung menyesali apa yang terjadi, menghukum dan menyalahkan diri sendiri.
Albrecht (dalarn Darrnadji, 1996) mengemukakan bahwa pola pikir yang pesimis menjadi pangkal timbulnya einosi yang menyalalkan dirinya sendiri sehingga akan menyulitkan individu dalam  menghadapi perubahan-perubahan dan dapat memunculkan gangguan psikis.
Banyak remaja menahan diri untuk mengarnbil resiko, karena mereka begitu keras terhadap diri sendiri bila mereka melakukan kesalahm. Mereka cemas karena mereka begitu takut pada kesengsaraan yang akan mereka alami sesudah melakukan kesalahan. Remaja ini pada masa kecilnya dulu sering dihukum karena kesalahan dan sebagai akibatnya kini saat tidak ada orangtua mereka, rasa takut itu masih ada. Bila mereka melakukan kesalahan, umumnya mereka lebih menyalahkan diri sendiri, Gray (dalarn Susilowati, 2003).
Penerapan disiplin pola asuh otoriter sangat keras dalan melakukan control dan penerapan aturan-aturan yang ada sehingga remaja menjadi merasa tertekan, dan dianggap sebagai masalah yang berat sehingga dalam mengurangi beban masalah yang ada remaja menolaknya dengan menganggap seolah-olah masalah itu tidak ada.
Sebuah peilelitian yang dilakukan oleh Tarrnudji (2001) terhadap 85 orang siswa di 8 SMA di kota Semarang tentang hubungan pola asuh orangtua dengan agresifitas remaja menunjukkan bahwa pola asuh yang otoriter dengm agresifitas remaja menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut dinyatakan positif narnun dalam level yang rendah. Dengan kata lain, terdapat hubungan positif yang signifikan antara digunakannya pola asuh  otoriter orangtua dengan munculnya perilaku agresif pada remaja. Perilaku agresif memiliki kesamaan dengan emotional focused coping yaitu merupakan bentuk respon secara emosional terhadap tekanan-tekanan yang diakibatkan oleh pola asuh orang tua yang otoriter.
D. Hipotesis

Berdasar uraian di atas maka diajukan hipotesis bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kecenderungan coping pada remaja. Semakin positif persepsi terhadap pola asuh orangtua otoriter semakin tinggi kecenderungan penggunaan emotional focused coping  pada remaja, sebaliknya negatif persepsi terhadap pola asuh orangtua otoriter semakin rendah kecenderungan penggunaan emotional focused coping pada remaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://isroi.files.wordpress.com/2010/01/chicken-egg.gif%3Fw%3D468&imgrefurl=http://www.jualcdsoftware.com/2011/11/cara-pasang-animasi-lucu-pada-blog.html&usg=__pffPdWlC4BLeIxRZKT3efI3QZhc=&h=200&w=250&sz=16&hl=id&start=17&sig2=lK53suQGqNLsKL51AuVHUw&zoom=1&tbnid=dl58wn7gc0YGOM:&tbnh=89&tbnw=111&ei=0QLTUeTEJMa8rAf8pYCQAQ&itbs=1&sa=X&ved=0CEoQrQMwEA