JS

Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 02 Juli 2013

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANG TUA OTORITER DENGAN KECENDERUNGAN EMOTIONAL FOCUSED COPING PADA REMAJA BAB I

BAB  I

PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang Masalah

Setiap orang pernah mempunyai masalah dalam kehidupannya. Orang menganggap suatu kondisi sebagai masalah apabila kondisi tersebut tidak sesuai dengan yang diinginkan. Anderson (dalam Istanti, 1996) mengemukakan bahwa masalah muncul karena adanya kesenjangan antara kenyataan yang ada dengan apa yang seharusnya ada. Semakin seseorang tumbuh dan berkembang ke arah kcdcwasaan biasanya masalah yang dihadapinya juga akan semakin rumit.
Berbagai masalah dan konflik yang terjadi pada seseorang dalam kehidupan sehari-hari dengan orang lain maupun dalam hubungan dengan orangtua dapat menimbulkan tckanan dan tegangan (stres). Masalah yang muncul harus diimbangi dengan ketrampilan pemilihan bentuk-bentuk perilaku yang akan diambil agar tidak terjerumus kedalarn bentuk perilaku yang tidak sesuai dan merugikan diri sendiri serta orang lain.
Pola asuh orangtua mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas kepribadian remaja. fiatin & Utami, (1994) mengemukakan masalah yang dihadapi remaja antara lain masalah yang berhubungxii dengan pola asuh orangtua, masalah dengan anggota keluarga, masalah pergaulan, dan lain sebagainya.
Kepribadian dan sikap rcmaja akan terbentuk dari lingkungan individu itu berada. Adapun bentuk pola asuh orangtua tentu memiliki harapan agar anaknya kelak menjadi manusia yang sesuai dengan keinginan orangtua.
Mead (dalam Utami, 1992) mengemukakan bahwa pola asuh orangtua merupakan suatu usaha serta mengelola anak dengan harapan anak dapat menjadi manusia sesuai dengan idaman orangtua sejak individu masih kanak-kanak hingga masa remaja. Setiap pola asuh yang diterapkan orangtua tentu bertujuan agar anak merespon dalarn bentuk perilaku yang baik, terarah dan tidak terjadi konflik diantara kedua belah fihak.
Salah satu pola asuh yang diterapkan orangtua adalab. pola asuh oturiter. I'ola asuh otoriter anak tidak. diberi hadiah atau penghargaan bila sesuai apa yang diharapkan orangtua, tetapi sebaliknya akan diberi hukuman bila tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Anak tidak mendapat kesempatan untuk membela diri ataupun berpendapat. Kondisi ini tentu akan dipersepsi remaja sebagai suatu masalah yang tidak bisa dianggap ringan. Ketika individu tidak lagi mendapatkan orang yang dapat diajak berbagi duka maka individu tersebut berada dalam kondisi frustasi, ketegangarl dan stres.
Penelitian sebuah lembaga konsultasi psikologi di Yogyakarta mengenai penderitaan yang dialami anak-anak dalaln keluarga beimasalah menyatakan bahwa stres d m gangguan mental terjadi sebanyak 29 % dari kasus keluarga bcrinasalah di Yogyakarta. Ganggian itu bcrada di bawal~n~asalahanak-anak menyangkut  pacar  dan  jodol~yang  mencapai  33  ?4 dan  berada  di  atas  masalah lain, yakni persoalan belajar, jeleknya hubungan dengan orangtua, narkotika, dan hubungan sesarna teman (Gatra, 2004).
Pola asuh otoriter yang diberikan orangtua tentu diharapkan akan dipersepsi anak sebagai tindakan  mendidik yang positif dan direspon kedalam bentuk perilaku yang realistik.  Kenyataannya remaja menganggapnya sebagai suatu masalah yang menimbulkan tekanan psikologis dan akhirnya dicari jalan keluar berupa tindakan emosional yang merugikan dirinya sendiri maupuri orang lain.
Beberapa.aktivitas dalam keluarga berpotensi nlemunculkan masalah yang membutuhkarl cara untuk menghadapinya seiring dengan perkembangan yang dialami remaja maka masalah-masalah yang muncul menjadi semakin kompleks clan beragam. Orangtua mengenalkan nilai-nilai kebiasaan melalui berbagai macam sikap yang oleh remaja akan dinilai, ditiru dan diresapi sampai akhirnya menjadi miliknya, sehingga sikap yang berbeda yang ditarnpilkan olch orangtua akan dipersepsi berbeda pula oleh remaja.
Pola asuh otoriter orangtua yang dipersepsi sebagai tekanan dan masalah bagi remaia seharusnya dicarikan jalan keluar kedalarn bentuk yang lebih realistik dan dapat diterima misalnya menghadapi masalah secara langsung, mcmpertimbangkatl secara matang alte~natif-altcrnatifkemungkinan pemecahan masalah, men~intapendapat orang lain bahkah kalau perlu melibatkan orang lain untuk diajak menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Namun kenyataannya kita banyak dihadapkan dengan perilaku remaja yang melanggar hukum dan mcrugikan dirinya sendiri. Dalam memilih bentuk penyclcsaian masalah, remaja sering inelarikannya dalarn bentuk perilaku yang negatif. Hawari (dalarn Republika, 25 September 1995) dalam sebuah penelitian tentang narkoba dan  minuman keras, mengungkap bahwa pertama kali pemakai minurnan keras dan narkoba umumnya 13 sampai 17 tahun. Alasan menggunakan narkoba dan minunIan keras bermacam-macarn. Sebanyak 27,6% responden percaya bahwa narkoba dan minuman keras dapat mengatasi masalah, dapat menghilangkan rasa sakit atau tidak enak 40%, menghilangkan rasa rendah diri dan supaya bisa bergaul 34,7%, wujud ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap orangtua, sekolah dan lingkungan serta keadaan 44%, menghilangkan kecemasan, kegelisahan, ketakutan, kemurungan dan susah tidur 88%.
Permasalahan yang timbul akibat penggunaan narkoba dan minunan keras pun bervariasi. Prestasi akademis merosot 98%, pertengkaran, ribut dengan keluarga dan teman 93,3%, terlibat perkelahian atau tindakan kekerasan 65,3%, dan kehilangan teman, pacar atau keluatga 42%.
Melihat banyaknya permasalahan remaja di atas dalam memilih bentuk penyelesaian masalah membuktikan bahwa remaja berada dalam kondisi gejolak emosi dan ke tidak seimbangan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Bahar (dalam Republika, 1 September 1995) usia remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Masa remaja adalah masa yang penuh dengan gejolak emosi dan ke tidak seimbangan yang tercangkup dalam storm dun stress yang menyebabkan remaja berada dalam  kcadaan cmosi yang meninggi (heightened emotionulify). Lamanya keadaan ini tidak dapat dipastikan. Biasanya pada rcnlaja awal, memuncak pada masa remaja pertengahan dan mencapai puncaknya pada masa remaja akhir.
Bentuk penyelesaian masalah yang berorientasi pada emosi dapat mengarahkan remaja ke dalam bentuk perilaku yang lebih parah misalnya mengambil jalan pintas yang dirasanya dapat menye!esaikan masalah yang ada dalam dirinya salah satunya adalah bunuh diri. Di Indonesia tren bunuh diri tampaknya menunjukkan gejala kenaikan, meskipun angka pasti belum dapat di sebutkan. Tetapi dari pengamattm terhadap kasus bunuh diri di Jakarta, khususnya
daerah   Jabotabek   tahun    1995   awal   hingga   pertengahan   tercatat   35   kasus.
Pelakunya dari berbagai profcsi. 19 orang berusia di bawah 25 tahun (Republika, 25 September 1995).
Banyaknya kasus bunuh diri, kecanduan narkoba dart minuman keras yang berusia remaja, menurut Bahar (dalam Republika, 1 September 1995) adalah karena gangguan keseimbangan mental seperti ketegangan, kecemasan, stres, frustrasi, dan depresi, paling sering terjadi pada usia remaja sekitar umurl7 sampai 20 tahun atau sampai usia 35 atau usia produktif, karena merekalah yang tiap hari bergelut dengan berbagai permasalahan.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa sebagian remaja merespon pennasalahan yang dihadapi dengan cara yang tidak tepat. Remaja menyelesaikan permasalahannya cenderung  menggunakan bentuk penyelesaian masalah yang berorientasi pada emosi, dalam psikologi dikenal dengan istilah emotional focused coping (EFC).
Peneliti  mengambil  subjek  siswa  SMUN   1  Prambanan  Klaten.  Sekolah tersebut dari berbagai informasi yang penulis peroleh dari guru, beberapa siswa, dan orangtua murid yang  menyatakan bahwa terdapat berbagai persoalan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada misalnya: (1) siswa banyak yang tidak mentaati peraturan sekolah, yang diwujudkan dengan membolos untuk menghindari hukurnan dari guru, (2) berkelahi untuk mengatasi hubungan inter personal dcngan tcman scbaya, dan (3) tidak mentaati peraturan lalu-lintas seperti tidak memakai helm bahkan kebut-kebutan di jalan tanpa memperhatikan keselarnatan dirinya dan orang lain. Kondisi sebagian siswa tersebut dimungkinkan merupakan respon terhadap tekanan-tekanan yang diterimanya dari lingkungan salah satunya pola asuh orang tua yang otoriter.
Melihat latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka permasalahan mengarah pada persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dari kecenderungan emotional focused coping  pada remaja, maka penulis mengarnbil judul Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Asuh Orangtua Otoriter Dengan Kecenderungan Emotional Focused Coping Pada Remaja.
B.   Tujuan Penelitian
Penelitian   ini   bertujuan   untuk   mengetahui   hubungan   antara   persepsi terhadap pola  asuh  orang tua  otoriter dcngan  kecenderungan  emotional ,focused coping pada remaja.

C.  Manfaat Penelitian
1.   Teoritik
Hasil penelitian ini diharapkan secara teoritik menambah pengetahuan dalam bidang psikologi klinis dan psikologi perkembangan, khususnya mengenai pola asuh orangtua dan strategi pemecahan masalah.
2.    Praktis
Secara  praktis  diharapkan  dapat  memberikan  informasi  yang  bermanfaat
bagi orangtua, pendidik dan masyarakat umurn mengenai persepsi terhadap pola asuh orangtua otoriter dan kecenderungan emotional focused coping pada remaja.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://isroi.files.wordpress.com/2010/01/chicken-egg.gif%3Fw%3D468&imgrefurl=http://www.jualcdsoftware.com/2011/11/cara-pasang-animasi-lucu-pada-blog.html&usg=__pffPdWlC4BLeIxRZKT3efI3QZhc=&h=200&w=250&sz=16&hl=id&start=17&sig2=lK53suQGqNLsKL51AuVHUw&zoom=1&tbnid=dl58wn7gc0YGOM:&tbnh=89&tbnw=111&ei=0QLTUeTEJMa8rAf8pYCQAQ&itbs=1&sa=X&ved=0CEoQrQMwEA