BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Setiap
orang pernah mempunyai masalah dalam kehidupannya. Orang menganggap suatu
kondisi sebagai masalah apabila kondisi tersebut tidak sesuai dengan yang
diinginkan. Anderson (dalam Istanti, 1996) mengemukakan bahwa masalah muncul
karena adanya kesenjangan antara kenyataan yang ada dengan apa yang seharusnya
ada. Semakin seseorang tumbuh dan berkembang ke arah kcdcwasaan biasanya
masalah yang dihadapinya juga akan semakin rumit.
Berbagai
masalah dan konflik yang terjadi pada seseorang dalam kehidupan sehari-hari
dengan orang lain maupun dalam hubungan dengan orangtua dapat menimbulkan
tckanan dan tegangan (stres). Masalah yang muncul harus diimbangi dengan
ketrampilan pemilihan bentuk-bentuk perilaku yang akan diambil agar tidak
terjerumus kedalarn bentuk perilaku yang tidak sesuai dan merugikan diri
sendiri serta orang lain.
Pola asuh orangtua mempunyai
pengaruh besar terhadap kualitas kepribadian remaja. fiatin & Utami, (1994)
mengemukakan masalah yang dihadapi remaja antara lain masalah yang berhubungxii
dengan pola asuh orangtua, masalah dengan anggota keluarga, masalah pergaulan, dan
lain sebagainya.
Kepribadian
dan sikap rcmaja akan terbentuk dari lingkungan individu itu berada. Adapun
bentuk pola asuh orangtua tentu memiliki harapan agar anaknya kelak menjadi
manusia yang sesuai dengan keinginan orangtua.
Mead
(dalam Utami, 1992) mengemukakan bahwa pola asuh orangtua merupakan suatu usaha
serta mengelola anak dengan harapan anak dapat menjadi manusia sesuai dengan
idaman orangtua sejak individu masih kanak-kanak hingga masa remaja. Setiap
pola asuh yang diterapkan orangtua tentu bertujuan agar anak merespon dalarn
bentuk perilaku yang baik, terarah dan tidak terjadi konflik diantara kedua
belah fihak.
Salah
satu pola asuh yang diterapkan orangtua adalab. pola asuh oturiter. I'ola asuh
otoriter anak tidak. diberi hadiah atau penghargaan bila sesuai apa yang
diharapkan orangtua, tetapi sebaliknya akan diberi hukuman bila tidak sesuai dengan
yang diharapkannya. Anak tidak mendapat kesempatan untuk membela diri
ataupun berpendapat. Kondisi ini tentu akan dipersepsi remaja sebagai suatu
masalah yang tidak bisa dianggap ringan. Ketika individu tidak lagi mendapatkan
orang yang dapat diajak berbagi duka maka individu tersebut berada dalam
kondisi frustasi, ketegangarl dan stres.
Penelitian
sebuah lembaga konsultasi psikologi di Yogyakarta mengenai penderitaan yang
dialami anak-anak dalaln keluarga beimasalah menyatakan bahwa stres d m
gangguan mental terjadi sebanyak 29 % dari kasus keluarga bcrinasalah di Yogyakarta.
Ganggian itu bcrada di bawal~n~asalahanak-anak menyangkut pacar
dan jodol~yang mencapai
33 ?4 dan berada
di atas masalah lain, yakni persoalan belajar,
jeleknya hubungan dengan orangtua, narkotika, dan hubungan sesarna teman
(Gatra, 2004).
Pola
asuh otoriter yang diberikan orangtua tentu diharapkan akan dipersepsi anak
sebagai tindakan mendidik yang positif
dan direspon kedalam bentuk perilaku yang realistik. Kenyataannya remaja menganggapnya sebagai
suatu masalah yang menimbulkan tekanan psikologis dan akhirnya dicari jalan
keluar berupa tindakan emosional yang merugikan dirinya sendiri maupuri orang
lain.
Beberapa.aktivitas
dalam keluarga berpotensi nlemunculkan masalah yang membutuhkarl cara untuk
menghadapinya seiring dengan perkembangan yang dialami remaja maka
masalah-masalah yang muncul menjadi semakin kompleks clan beragam. Orangtua
mengenalkan nilai-nilai kebiasaan melalui berbagai macam sikap yang oleh remaja
akan dinilai, ditiru dan diresapi sampai akhirnya menjadi miliknya, sehingga
sikap yang berbeda yang ditarnpilkan olch orangtua akan dipersepsi berbeda pula
oleh remaja.
Pola
asuh otoriter orangtua yang dipersepsi sebagai tekanan dan masalah bagi remaia
seharusnya dicarikan jalan keluar kedalarn bentuk yang lebih realistik dan
dapat diterima misalnya menghadapi masalah secara langsung, mcmpertimbangkatl
secara matang alte~natif-altcrnatifkemungkinan pemecahan masalah,
men~intapendapat orang lain bahkah kalau perlu melibatkan orang lain untuk
diajak menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Namun
kenyataannya kita banyak dihadapkan dengan perilaku remaja yang melanggar hukum
dan mcrugikan dirinya sendiri. Dalam memilih bentuk penyclcsaian masalah, remaja
sering inelarikannya dalarn bentuk perilaku yang negatif. Hawari (dalarn
Republika, 25 September 1995) dalam sebuah penelitian tentang narkoba dan minuman keras, mengungkap bahwa pertama kali
pemakai minurnan keras dan narkoba umumnya 13 sampai 17 tahun. Alasan
menggunakan narkoba dan minunIan keras bermacam-macarn. Sebanyak 27,6%
responden percaya bahwa narkoba dan minuman keras dapat mengatasi masalah,
dapat menghilangkan rasa sakit atau tidak enak 40%, menghilangkan rasa rendah
diri dan supaya bisa bergaul 34,7%, wujud ketidakpuasan atau kekecewaan
terhadap orangtua, sekolah dan lingkungan serta keadaan 44%, menghilangkan
kecemasan, kegelisahan, ketakutan, kemurungan dan susah tidur 88%.
Permasalahan
yang timbul akibat penggunaan narkoba dan minunan keras pun bervariasi. Prestasi
akademis merosot 98%, pertengkaran, ribut dengan keluarga dan teman 93,3%,
terlibat perkelahian atau tindakan kekerasan 65,3%, dan kehilangan teman, pacar
atau keluatga 42%.
Melihat
banyaknya permasalahan remaja di atas dalam memilih bentuk penyelesaian masalah
membuktikan bahwa remaja berada dalam kondisi gejolak emosi dan ke tidak seimbangan.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Bahar (dalam Republika, 1
September 1995) usia remaja merupakan masa transisi antara masa
kanak-kanak dengan masa dewasa. Masa remaja adalah masa yang penuh dengan
gejolak emosi dan ke tidak seimbangan yang tercangkup dalam storm
dun stress yang menyebabkan remaja berada dalam kcadaan cmosi yang meninggi (heightened
emotionulify). Lamanya keadaan ini tidak dapat
dipastikan. Biasanya pada rcnlaja awal, memuncak pada masa remaja
pertengahan dan mencapai puncaknya pada masa remaja akhir.
Bentuk penyelesaian masalah yang berorientasi
pada emosi dapat mengarahkan remaja ke dalam bentuk perilaku yang lebih parah misalnya
mengambil jalan pintas yang dirasanya dapat menye!esaikan masalah yang ada
dalam dirinya salah satunya adalah bunuh diri. Di Indonesia tren bunuh diri
tampaknya menunjukkan gejala kenaikan, meskipun angka pasti belum dapat di
sebutkan. Tetapi dari pengamattm terhadap kasus bunuh diri di Jakarta,
khususnya
daerah Jabotabek
tahun 1995 awal
hingga pertengahan tercatat
35 kasus.
Pelakunya
dari berbagai profcsi. 19 orang berusia di bawah 25 tahun (Republika, 25
September 1995).
Banyaknya
kasus bunuh diri, kecanduan narkoba dart minuman keras yang berusia remaja,
menurut Bahar (dalam Republika, 1 September 1995) adalah karena gangguan
keseimbangan mental seperti ketegangan, kecemasan, stres, frustrasi, dan
depresi, paling sering terjadi pada usia remaja sekitar umurl7 sampai 20 tahun
atau sampai usia 35 atau usia produktif, karena merekalah yang tiap hari
bergelut dengan berbagai permasalahan.
Fenomena
di atas menunjukkan bahwa sebagian remaja merespon pennasalahan yang dihadapi
dengan cara yang tidak tepat. Remaja menyelesaikan permasalahannya cenderung menggunakan bentuk penyelesaian masalah yang
berorientasi pada emosi, dalam psikologi dikenal dengan istilah emotional
focused coping (EFC).
Peneliti mengambil
subjek siswa SMUN
1 Prambanan Klaten.
Sekolah tersebut dari berbagai informasi yang penulis peroleh dari guru,
beberapa siswa, dan orangtua murid yang menyatakan bahwa terdapat berbagai persoalan yang
tidak sesuai dengan aturan yang ada misalnya: (1) siswa banyak yang tidak
mentaati peraturan sekolah, yang diwujudkan dengan membolos untuk menghindari
hukurnan dari guru, (2) berkelahi untuk mengatasi hubungan inter personal
dcngan tcman scbaya, dan (3) tidak mentaati peraturan lalu-lintas seperti tidak
memakai helm bahkan kebut-kebutan di jalan tanpa memperhatikan keselarnatan
dirinya dan orang lain. Kondisi sebagian siswa tersebut dimungkinkan merupakan
respon terhadap tekanan-tekanan yang diterimanya dari lingkungan salah satunya
pola asuh orang tua yang otoriter.
Melihat latar belakang
masalah yang telah dikemukakan di atas maka permasalahan mengarah pada persepsi
terhadap pola asuh otoriter orangtua dari kecenderungan emotional focused
coping pada remaja, maka penulis
mengarnbil judul Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Asuh Orangtua Otoriter
Dengan Kecenderungan Emotional Focused Coping Pada Remaja.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara persepsi terhadap pola asuh orang
tua otoriter dcngan kecenderungan
emotional ,focused coping pada remaja.
C.
Manfaat Penelitian
1.
Teoritik
Hasil penelitian ini diharapkan secara
teoritik menambah pengetahuan dalam bidang psikologi klinis dan psikologi
perkembangan, khususnya mengenai pola asuh orangtua dan strategi pemecahan
masalah.
2.
Praktis
Secara
praktis diharapkan dapat
memberikan informasi yang
bermanfaat
bagi orangtua,
pendidik dan masyarakat umurn mengenai persepsi terhadap pola asuh orangtua
otoriter dan kecenderungan emotional focused coping pada remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar